Politik Uang dan Korupsi

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BETAPA tidak, setiap perbuatan suap dalam proses politik untuk menduduki satu jabatan publik. Pasti ujungnya adalah korupsi. Ini bukan asumsi, juga bukan persepsi, tapi fakta.
Banyak bukti yang kita lihat. Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahun 2005, telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap ratusan kepala daerah, baik bupati/walikota juga gubernur. Selain yang diproses melaui penyelidikan dan penyidikan.
Dari penelusuran awal, menjadi kepala daerah seluruhnya karena money politic hingga yang bersangkutan terpilih.
Tidak ada satu pun dari kasus tersebut di mana mereka terpilih benar benar bersih. Kenapa bisa? Meskipun juga ada yang tidak diproses karena tidak cukup bukti ( kelihaian yang bersangkutan mengaburkan bukti-bukti yang tidak ada tanda tangan bersangkutan. Justru bawahannya yang terciduk sebab namanya yang tertera dan disertai cap dan tanda tangan. Loloslah dia dari jeratan, tindak pidana).
Logika berpikirnya sangat sederhana.
Pertama, uang yang dikeluarkan harus kembali. Tidak boleh tidak. Karena ini bukan sedekah. Bukan dana percuma. Itu dalam rangka sipenerima uang harus memilih dia.
Kedua, yang mengusung hingga orang bisa maju sebagai calon memerlukan ongkos politik, ini hanya istilah untuk membedakan “membeli” pengusung. Sehingga, semua berjalan mulus.
Ketiga, pernik-pernik kampanye, tim relawan, saksi, survei, tim ahli, semuanya harus didanai. Biaya politik menjadi sangat mahal.
Keempat, biaya tak terduga bila ada sengketa hasil pemilihan juga menguras anggaran. Semuanya serba “kertas berharga” Bagaimana caranya mereka lakukan itu? Itu soal teknis dan banyak cara bisa ditempuh. Gampang mencari contoh dari sejumlah kasus yang terjadi. Sejak 2005 hingga 2019 sudah lebih lima ratus daerah telah melakukan pemilihan kepala daerah ( terdapat total 514 kabupaten dan kota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota plus 34 propinsi) ada yang sudah dua kali mengikuti kontestasi dan terpilih terus, ada yang tiga kali, tapi gagal selalu.
Meski, ada pula yang sudah banyak “berkorban” demi jabatan untuk status sosial, kemudian menggunakan jabatannya untuk kemaslahatan rakyat dan mematuhi sumpah jabatannya.
Ini memang ada beberapa gelintir. Dia memang sudah sangat kaya, dia tidak butuh penghasilan tambahan. Jabatan hanya sarana untuk berbuat banyak untuk masyarakatnya, ingin merubah kondisi daerahnya. Ini pemimpin ideal. Tapi sangat langka.
Apa Dampaknya?
Bukti empirik yang ada, dampak politik uang berujung korupsi, dibagi menjadi dua. Bagi pemerintahan, antara lain, pertama, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang disusun di “formulasi” sedemikian rupa agar visi dan misi yang dituangkan dalam program, kebijakan dan kegiatan (sebagaimana janji kampanyenya) termuat dengan alokasi anggaran dapat “dimanipulasi”.
(Ini masih bagus, sebab memenuhi komitmen janjinya, tetapi tidak sedikit hanya “sekadar” melaksanakan yang penting penting saja, sementara lainnya tidak, toh tidak ada konsekuensi hukum jika tidak menepati janji-hanya kontrak sosial).
Kedua, bawahan yang jadi korban. Setiap kasus korupsi tidak pernah dilakukan perorangan, tunggal. Pasti “berjemaah” (dalam Islam, pengertian berjemaah minimal ada imam dan satu ma’mum, jika dua orang dan seterusnya lebih baik. Ini menurut agama).
Dalam jemaah itu pasti ada aparatur yang kena, karena mereka pelaksana, sekaligus penanggung jawab operasional. Dan, ingat, setiap kasus korupsi terjadi pencucian uang. Jarang dia simpan sendiri dana hasil “rampokan” itu.
Ketiga, program, kebijakan dan kegiatan yang termuat dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah tidak tercapai. Artinya, masyarakat tidak dapat melihat apatahlagi menikmati hasil pembangunan yang semestinya mereka bisa rasakan.
Di luar pemerintahan, akibat korupsi itu.
Pertama, keterlibatan swasta dan bisnis untuk mendapatkan proyek pemerintah melalui jalan kongkalikong. Suap terjadi. Proses tender yang tidak transparan oleh karena sudah “diolah” siapa pemenangnya. Ini juga salah satu bukti bahwa korupsi itu tidak berdiri sendiri dikerjakan satu orang.
Kedua, tingkat kepercayaan dari investor akan membuat mereka “keder” duluan sebelum masuk menanamkan modalnya, aksesnya adalah daerah itu minim kapital dari pengusaha, lapangan kerja sangat terbatas, pengangguran meningkat. Memang, korupsi adalah kejahatan luar biasa akibatnya. Walau hanya dilakukan “beberapa” orang saja. Namun, berakibat luas dan merusak sistem.
Mungkinkah Jabatan Tanpa Fulus?
Pertanyaan sederhana, dan jawabannya juga simple. Bisa dan harus. Caranya?
Pertama, memperbaiki sistem pemilihan. Dibuatkan regulasi yang meminimalisir hingga titik terendah adanya kemungkinan politik uang dan uang politik.
Kedua, penyelenggara pemilihan sebagai bagian dari proses berdemokrasi harus kredibel, jujur, bertanggung jawab dan punya ilmu mumpuni di bidang penyelenggaraan pemiihan kepala daerah. Minimal dia harus punya latar belakang keahlian ilmu pemilu, ketiga, rakyat punya harga diri sebagai pemilik kedaulatan Jangan mau dibeli meski “miskin”.
Rakyat harus menjaga kehormatan. Bagaimana caranya itu bisa dilakukan? Edukasi, menunjukkan budaya politik yang beradab oleh partai politik.
Partai politik sebagai media legal pengusung calon, memilih kandidat yang memenuhi kriteria ideal, dengan memperhitungkan kemampuan material seseorang, pada batas wajar dan berberkah.
Keempat, proses kaderisasi partai harus berjalan baik dan berkesinambungan. Loyalitas ditumbuhkan, cara-cara disiplin dan militan yang beretika.
Di negara maju dan sudah mapan demokrasinya serta kaderisasi berjalan, calon itu tidak mudah lompat pagar, kayak bajing loncat. Pindah sana masuk sini, merekrut orang berdasar primordial dan fulus belaka. Itu harus di rubah dan dibenahi segera, kelima, calon yang diusung harus memiliki kecerdasan yang luar biasa. Itu pemikiran kerdil jika ada yang mengatakan: “penting bisa kerja dan kerja serta loyal”. Itu cara berpikir yang tidak cocok lagi untuk masa depan kemajuan daerah dan negara.

Oleh: M Ridha Rasyid

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Headlines

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts

https://situs-toto.togel.togetherband.org