Oleh : Elesmi Madsyah
Kendati aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak membolehkan Money politik (politik uang), dalam kontestasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak yang dilaksanakan pihak KPU selaku panitia penyelenggara se Indonesi 27 November 2024 belum lama ini.
Sama kita ketahui, bahwa Money politik yang dilakukan “para kontestan (kandidat) baik Gubernur, Bupati maupun Wali Kota se Indonesia, tidak menjadi rahasia umum lagi.
Bahkan, pihak Panwas (Pengawas Pemilu) maupun pihak kepolisian sudah mengetahui bahwa politik kotor atau Money politik yang dilakukan kandidat. Anehnya, tidak ada tindakan serius dari pihak berwenang untuk melakukan tindakan.
Artinya, aturan yang tidak membolehkan money politik hanyalah “slogan semata” tidak ada kekuatan hukum didalamnya benar bukan ? Buktinya dengan bebas atau terang-terangan kandidat melalui tim pemenangan masing – masing kandidat melakukan politik uang tersebut.
Tak heran kini, untuk mencari pemimpin yang amanah dalam menjalankan roda pemerintahan, tidaklah mudah. Tolak ukurnya, “banyak modal menang”.
Lalu siapa yang harus disalahkan jika, kesenjangan kesejahteraan sosial tidak merata di negeri ini? Karena Kandidat yang keluar jadi pemenang, mengeluarkan modal atau cost yang cukup tinggi, sedangkan masyarakat mau pula suaranya dibeli dengan harga murah.
Disinilah awal dari kehancuran, karena kontestan yang unggul dibenaknya bagaimana cara untuk mengembalikan modal yang tidak sedikit jumlahnya.
Muaranya, sama-sama dirugikan akibat lemahnya aturan atau tidak ada kekuatan hukum yang bisa membatalkan kontestan.
Bahkan di Makamah Konstitusi (MK) kasus ini, secara terus menerus di bawa ke MK, alhasil tetap yang keluar jadi pemenang meski melakukan Mony politik, tetap di lantik. Inilah indonesia.
Kedepan siap- siap 2029, tidak menutup kemungkinan bermunculan kontestan baik Pileg maupun Pilkada, adalah orang- orang berduit bermental korup. (*)