LEBONG, BEO.CO.ID – Cukup menarik jika membahas persoalan pertambangan salah satunya kewajiban perusahaan melakukan reklamasi lahan seperti diungkap oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko, untuk mengatur perbaikan atau penataan ulang fungsi lahan bekas tambang sudah ada sejak penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.
Hal itu ditegaskannya pada acara Webinar Kontribusi Alumni IPB di Tambang : Dari Reklamasi hingga Pengelolaan Lingkungan dan Sosial di Jakarta, Sabtu (10/7) beberapa waktu lalu.
“Tambang, kita ini sesungguhnya sejak awal dibangun 1967 sudah sangat perhatian kepada reklamasi atau pengelolaan lingkungan,” kata Sujatmiko dilansir oleh Jurnas.com.
Dirinya juga menegaskan, norma pengaturan lingkungan pertambangan ini berevolusi mengatur tentang sanksi administratif dan pidana melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 No.78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang dan produk turunan hukumnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
“Kalau dulu pelaku usaha tambang tidak patuh tidak ada sanksi pidana. Sejak tahun 2010 bagi mereka yang tidak mereklamasi di samping denda dan pencabutan izin juga dapat dikenakan sanksi pidana,” jelasnya
Menurut Sujatmiko prinsip dasar reklamasi selalu terintergrasi pada semua tahap pertambangan dari eksplorasi sampai pascatambang.
“Reklamasi tidak mungkin lepas dari perencanaan pertambang. Setiap pertambangan tidak memiliki perencanaan reklamasi yang terintegrasi pemerintah, Direktorat Jenderal Minerba tidak akan mengeluarkan izin untuk beroperasi,” tegasnya.
Dalam paparan Sujatmiko, pelaksanaan reklamasi harus dilakukan sesuai komitemen dalam dokumen lingkungan yang penyusunannya melibatkan para pemangku kepentingan.
Nantinya, reklamasi dilakukan pada area terganggu meliputi lahan bekas eksplorasi, lahan bekas tambang, lahan bekas timbunan, dan lahan bekas fasilitas penunjang. Termasuk di dalamnya kegiatan pengeloaan air tambang (limpasan permukaan dan limbah) khususnya pengendalian erosi dan sedimentasi.
Sujatmiko tak menampik selama kegiatan operasi produksi pertambangan terdapat lahan yang terganggu. Namun seiring adanya reklamasi akan mengurai permasalahan tersebut. “Tutupan vegatasi setelah pascatambang lebih baik dari sebelum tambang,” tambahnya.
Dari 10,83 juta hektar wilayah tambang di Indonesia yang memperoleh izin usaha, pemerintah hanya 248,6 ribu hektar yang dibuka untuk kegiatan pertambangan. “Hanya 2,2% dari total wilayah yang mendapatkan izin dan sepertiganya sudah direklamasi,” urainya.
Beberapa contoh keberhasilan reklamasi adalah pemanfaatan area bekas tambang (void) di PT Timah yang dijadikan sebagai wisata agro-edutourism melalui kampoeng reklamasi air jangkang.
Adapula peruntukan revegetasi yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa menjadi kebun raya. “Bahkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) mensahkan sebagai hutan yang jauh lebih baik dibanding sebelum ditambang,” pungkasnya.
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Garda Bela Negara Nasional (GBNN) Kabupaten Lebong, Firdaus mengatakan bahwa reklamasi perusahaan pertambangan jika tidak melakukan bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM nomor 26 tahun 2018 di Bab VI Sanksi Administratif.
“Pasal 50 poin ke 1. Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi Produksi, yang tidak mematuhi atau melanggar dikenakan sanksi administratif, dan poin ke 2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha dan/atau pencabutan izin,” jelasnya (2/7/21).
Sambung Firdaus, wewenang itu sanksi administratif itu bisa dilakukan oleh pihak kementerian atau gubernur sesuai dengan kewenangannya, di pasal 51 yang berbunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (8) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing paling lama 30 (tiga
puluh) hari kalender.
“Bagi perusaha penambang di pasal 52 poin ke 1. pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUJP, atau IPR yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 belum melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (8) huruf b,” papar mengutif kembali Permen ESDM nomor 26 tahun 2018.
Dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan Permen dipoin ke 2. Sanksi administrasi diayat (1) dikenakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender.
“Di pasal 53 sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (8) huruf c kepada pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUJP, atau IPR yang tidak melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,” tulisnya diakhir.
Pewarta : SB