Pendahuluan
Tahun 1903 merupakan tahun yang amat berat bagi rakyat Kerinci. Pasalnya, mereka mengalami kekalahan telak akibat menentang dan melawan Kolonial Belanda. Belanda saat itu ingin menguasai wilayah Kerinci yang masih merdeka. Di Pulau Tengah, Belanda membumihanguskan kampung itu, banyak anak-anak, wanita dan orangtua yang tewas karena bersembunyi di bawah kolong rumah. Kekalahan demi kekalahan harus ditelan oleh orang Kerinci. Beberapa kampung dengan mudah ditaklukkan oleh Belanda tanpa perlawanan berarti.
Setelah seluruh kampung ditaklukan, Belanda menjadikan Kerinci sebagai salah satu afdeelingnya yang dibagi dalam tiga distrik dan 12 Mendapo. Tiga distrik itu adalah distrik Korintji Oeloe, distrik Korintji Tengah dan distrik Korintji Hilir. Masing-masing distrik itu dikepalai oleh seorang demang. Masing-masing distrik membawahi wilayah adat yang disebut sebagai Mendapo dan tiap-tiap mendapo membawahi beberapa dusun.
Dua belas mendapo yang tercatat pada masa pemerintahan Belanda adalah Mendapo Semurup, Mendapo Keramantan, Mendapo Depati Tujuh, Mendapo Rawang, Mendapo Limo Dusun, Mendapo Hiang, Mendapo Penawar, Mendapo Seleman, Mendapo Keliling Danau, Mendapo Sanggaran Agung, Mendapo Lolo, dan Mendapo Tiga Helai Kain. Masing-masing mendapo ini dikepalai oleh seorang yang disebut sebagai Kepalo Mendapo. Pada masa awal pemerintahannya, Belanda menempatkan kepala adat,orang-orang berpengaruh dan bahkan merekrut orang-orang yang dahulunya melawan mereka sebagai pemegang jawatan kepala Mendapo (Mendapo Hoofd) yang kemudian disebut juga sebagai Mendapo Raad.
Salah seorang yang menjadi kepala Mendapo terawal di Kerinci adalah Haji Soetan Imam. Ia diangkat menjadi Kepala Mendapo Semurup sejak tahun 1903 dan berakhir pada tahun 1920-an. Mendapo Semurup meliputi dua wilayah adat yaitu wilayah adat Pamuncak Tanah Semurup dan wilayah adat Siulak Tanah Sekudung. Mendapo ini terdiri dari beberapa dusun seperti Dusun Gedang, Dusun Koto Dua, Dusun Balai, Dusun Koto Datuk, Dusun Koto Tengah, Dusun Koto Cayo, Dusun Koto Baru, Dusun Koto Mudik, Dusun Siulak Kecik, Dusun Siulak Gedang, Dusun Siulak Mukai, Dusun Siulak Panjang, Dusun Baru, Dusun Koto Rendah dan Dusun Lubuk Nagodang.
Haji Soetan Imam dan Kiprahnya
Nama kecil dari Haji Soetan Imam sampai saat ini masih belum diketahui. Adapun gelar Haji Soetan Imam diperoleh beliau saat melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Masyarakat Kerinci lebih mengenal dengan sebutan Depati Imam. Terkadang juga dipanggil dengan sebutan Hangtuo Perang atau Hangtuo Imam Perang.
Pemberian gelar sebagai Imam Perang atau Tuo Perang ini dilatarbelakangi oleh kiprah beliau dalam berperang melawan Belanda. Pada Juni 1903, beliau menjadi salah seorang pemimpin bagi sekitar 200 orang yang menyerang markas Belanda di wilayah Rawang. Beliau membawahi ratus orang yang berasal dari dusun-dusun di Siulak. Kisah ini dimuat dalam surat kabar Belanda Amersfoortsch Dagblad no. 33 terbit pada 01 Agutus 1903 yang isinya berbunyi:
“….berdasarkan pesan komandan bivak Kota Limau Saring bahwa bivak Rawang diserang pada 20 Juni sore hari oleh 200 orang pria bersenjata dan dengan dondeerbussen (sejenis senjata) dari Karamanten, Depati Tujuh, Siulak Kecil, Siulak Mukai dan Siulak Panjang. Kelompok-kelompok itu telah didorong
(https://archiefeemland.courant.nu/issue/AD/1903-08-01/edition/1/page/1, diakses 31 Juli 2018).
Sebelumnya, pada 08 Juni kelompok ini juga diketahui memblokir jalan di Koto Limau Sering salah satu akses jalan yang dilewati oleh pasukan Belanda dari Inderapura ke Kerinci.
Namun sayangnya, semangat juang orang Kerinci yang begitu tinggi tidak dibarengi dengan senjata yang memadai. Akibatnya, meski memiliki prajurit/hulubalang yang banyak serta strategi yang cukup baik, tetap saja dapat dengan mudah dikalahkan oleh Belanda yang didukung dengan persenjataan canggih.
Kesadaran akan hal inilah yang membuat orang Kerinci enggan mengadakan perlawanan lebih lanjut. Perlawanan lanjutan justru akan berdampak sangat buruk bagi kondisi sosial dan ekonomi orang Kerinci. Apalagi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar wilayah Kerinci telah menjadi jajahan Belanda. Mereka tidak punya pilihan selain harus tunduk kepada Belanda. Para pimpinan yang mengadakan perlawanan harus menjilat ludah sendiri dan kemudian menjadi pejabat bawahan Belanda. Kenyataan pahit memang harus dirasakan oleh pihak yang kalah.
Haji Soetan Imam sebagai kepala Mendapo turut andil dalam beberapa proyek pembangunan terawal yang dilakukan oleh Belanda. Beliau mengumpulkan puluhan pemuda dari wilayah Siulak dan Semurup untuk bekerja (Rodi) dalam proyek pelebaran jalan setapak Kerinci-Inderapura via Tapan, pembuatan jalan dari Sungai Penuh ke Siulak dan kemudian proyek pembuatan saluran Benda Bekali yaitu pembedahan Bukit Sembilan Tangguk guna mengalirkan air Danau Kerinci ke Batang Merangin melalui Pulau Pandan.
Meskipun secara lahir mereka tunduk, namun di dalam batin orang Kerinci tetap menentang kehadiran Belanda. Antara tahun 1906-1908, seorang Pangeran dari Jambi bernama Pangeran Haji Umar dan para pengikutnya melakukan gerilya menentang Belanda. Ia mengadakan perjanjian dengan kepala-kepala Mendapo di Kerinci termasuk dengan Haji Soetan Imam.
Selama gerilya tersebut, Haji Soetan Imam menggunakan taktik seperti yang pernah dilakukan oleh Teuku Umar di Aceh. Ia bermanis muka di hadapan Belanda untuk melindungi pergerakan yang dilakukan oleh Pangeran H. Umar dari Jambi. Narasumber bernama Abidin, pernah mendengar cerita langsung dari Haji Soetan Imam yang kala itu telah renta pada tahun 1940-an.
Haji Soetan Imam menuturkan bahwa ia pernah melindungi pasukan Pangeran Umar tatkala digempur Belanda di sekitar hutan Pengasi. Seorang prajurit Pangeran H. Umar tewas tertembak di hutan pakis, ia melihat sendiri tetesan peluh di dahi pada jasad prajurit yang masih hangat itu. Pangeran H. Umar sendiri dapat menghindar, melewati hutan menuju Tanah Tumbuh dengan selamat (Kab. Bungo sekarang). Perlindungan atas Pangeran Haji Umar mengakibatkan beberapa Kepala Mendapo harus membayar denda kepada pihak Belanda. Setengah narasumber menyebutkan dendanya seharga seekor kerbau atau bila diuangkan menjadi 300 gulden
Haji Soetan Imam dan Keluarganya
Haji Soetan Imam lahir dari pasangan bernama Cik Pago dan Timah Runai dari Lahik Tengah Dusun Siulak Panjang sekitar tahun 1870an. Haji Soetan Imam merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara. Saudaranya yang tertua bernama Cik Sungu bergelar Haji Sultan Salim tinggal di Tanjung Genting (laki-laki), selanjutnya berturut-turut adalah Kato Meh (Perempuan) di Siulak Deras Mudik, Imam Cik Katubah (laki-laki) di Siulak Deras Mudik dan yang paling bungsu bernama Siti Benar juga tinggal di Siulak Deras Mudik (perempuan). Sebagai salah seorang anggota suku yang laki-laki, Haji Soetan Imam juga mewarisi gelar adat dari Lahik Tengah dusun Siulak Panjang yaitu Depati Mangku Bumi.
Haji Soetan Imam memiliki tiga orang istri. Istri tertuanya bernama Siti Uncah berasal dari Dusun Baru Siulak. Dua istrinya yang lain bernama Siti Lingkung dari Dusun Siulak Mukai (Mukai Hilir) dan Kudi dari Semurup. Dari istri pertama, Haji Soetan Imam dikurniai empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan satu perempuan.
Tiga orang laki-laki bernama Cik Tilik atau Haji Umar, Cik Lingkung atau Haji Idris, dan Mat Rimpun serta seorang perempuan bernama Siti Perintah. Anaknya yang bernama Haji Umar juga menjabat Kepala Mendapo Semurup setelah ia meletakkan jabatan. Dari istrinya di Semurup, Haji Soetan Imam dikurniai dua orang anak. Seorang laki-laki bernama Mat Jaris dengan gelar Haji Muhammad Karim dan seorang perempuan bernama Syafa’at. Sementara dari istrinya di Siulak Mukai Hilir, dikurniai enam orang yakni 3 anak laki-laki yang bernama Mat Sarih, Basirun dan Ibnu Arah serta tiga anak perempuan yang bernama Sawiyah, Sarah dan Rabitah.
Masa tua Haji Sutan Imam dihabiskan di Siulak Mukai Hilir. Namun, setelah wafat beliau dimakamkan di pekuburan Guguk Tinggi Dusun Siulak Panjang. Berdasarkan ranji yang dibuat oleh keturunannya Haji Soetan Imam memiliki zuriat sebanyak 12 orang anak, 27 orang cucu dan sekitar 150 orang cicit.
Sumber: Korintji”. Amersfoortsch Dagblad no. 33, terbit pada 01 Agutus 1903. https:// archiefeemland.courant.nu/issue/AD/1903-08-01/edition/1/page/1. diakses 31 Juli 2018
Wawancara
Wawancara Abidin gelar Temenggung Adil Bicaro (umur 88 tahun-sudah wafat), Siulak Panjang, Kerinci, 07 Februari 2016, pukul 13.00-14.00 WIB
Sumber lain : Ranji Silsilah Haji Idris bin Haji Soetan Imam, milik Rony Nofrianto diakses 31 Juli 2018
Ranji Silsilah Haji Idris bin H. Soetan Imam milik Arif Fadillah
Dikirim oleh kontributor Budaya Kerinci
H.H. Sunliensyar
Sumber link Website : https://boedayakerinci.blogspot.com/2020/02/biografi-singkat-haji-soetan-imam.html