Tidak akan ada artinya sebuah pesan kebaikkan dan kritik diatas kertas tertulis dan lisan tanpa mau disimak dan dimaknai secara jernih tanpa dendam.
Penulis naskah ini, mohon maaf terlebih dahulu dan wajib dengan kesadaran sendiri memang lahir di Desa Tanjung Genting, Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi, 64 tahun silam.
Mohon maaf yang sedalam-dalamnya, saya sangat jarang pulang ketanah kelahiran, Tanjung Genting, (Kerinci) apa lagi diusia senja, yang dibarengi kasih sayang Tuhan yang maha kuasa dan maha segalanya, diberi ujian berat yang harus saya pikul dan sudah lima tahun terakhir. “Saya, diberi sakit dan sakit lagi” tapi itu semua tanda kasih sayang Allah kepada hambanya.
Suka tidak suka, para pembaca yang budiman, khususnya masyarakat Desa Tanjung Genting hanya ada satu dalam sejarahnya, “Tanjung Genting” hanya sebuah nama. Nama tempat yang beratus tahun silam sempat disebut (dihuni) “Sembilan tungku, Sembilan Periuk” juga disebut “Sembilan Bertungku Jarang” artinya dihuni oleh Sembilan kepala keluarga.
Boleh percaya dan boleh tidak, karena tidak didukung dari bukti sejarah. Cerita Sembilan tungku dan Sembilan periuk, saya peroleh dari (almarhummah) Muhammad Nur mantan Kepala Desa Tanjung Genting, dimasa hidupnya sekitar tahun 1977 yang ternal itu.
Nama Tanjung Genting, tidak ada kaitannya dengan Topografi daerahnya. Tanjung, tidak ada. Genting, pada masa lampau karena kehidupan yang sulit bagi puluhan orang menghuni hutan “Bukit Siggi” atau Kayu Siggi diatas perbukitan Tanjung Genting sebelah barat.
Jadi apa nilai tambah dari nama Desa Tanjung Genting? Maka naskah ini diberi judul agak panjang sudah diluar format tulisan yang baik.
Kembalikan Roh Marwah Kebersamaan, Tanjung Gentingku Sayang-Tanjung Gentingku Malang? “ Manusia Sembilan Tungku dan Sembilan Belango” (Periuk), dulu periuknya dari Tanah.
Roh Marwah Kebersamaan itu, berasal dari orang (manusia) yang hidup dizamannya, sangat sulit artinya sama dengan Genting. Ditengah ke Gentingan dan kesulitan mereka mampu bahu membahu, menjaga kebersamaan “berat sama dipikul, ringan sama di jinjing” ternyata mereka mampu meneruskan perjalanan panjang generasinya hingga kini.
Manusia Sembilan Tungku yang hidup dikaki Bukit Siggi itu, dipimpin seorang ketua kelompoknya, di sebut Pak Pati (Pak Depati), kepala rombongan dari negeri/ dusun Talang Cemedak (Siulak) sekarang. Yang disebut Tigo Luhah Tanah Sikudung, asal muasal mereka (Soelak Mukai) dari pinggir Air Mukai.
Itulah kelompok manusia “Sembilan Tungku dan Sembilan Belango” atau disebut “Piuk” atau Periuk sekarang. Asal muasal mereka dari Siulak Mukai, kini Kecamatan Siulak Mukai, Kerinci mudik (hulu). Juga dipertegas dengan sebutan “dusun, kampung, atau negeri” Tigo Luhah Tanah Sikudung. Tanjung Genting, tak dapat dipisahkan dari “Negeri Tigo Luhah Tanah Sikudung” itu.
Dari perkembangan Sembilan Tungku dengan Sembilan belangonya, baru disusul orang (warga) asal Sungai Lebo, Sungai Pegeh, mereka ke Sungai Gelampeh dulu, baru ke Tanjung Genting. Dan menyusul dari Kemantan, Rawang, Belui dan terselip satu keturunan dari Tanah Batak, Sumatera Utara.
Roh Marwah Kebersamaan terbangun sangat baik, berpuluh tahun bahkan ratusan tahun lamanya hingga kini, muncul generasi ala melenial (zaman now) ternyata keturunan dari Sembilan Tungku dan Sembilan Belanga (Belango) tidak lagi berpegang teguh pada Marwah Kebersamaan, “Berat sama di Pikul, Ringan sama di Jinjing” tidak lagi dipakai saat ini.
Semuanya nyaris lenyap (habis) ditelan perubahan. Yang muncul egoisme, keangkuhan, sombong. Ketidak pedulian sesama, nilai-nilai kasih sayang, kedamaian, hidup aman dan nyaman nyaris terkikis habis.
Karena pemimpin kelompok didesa, kini disebut Kades (Kepala Desa), jabatan itu diperoleh dengan harga yang mahal. Tindakkan yang tidak terpuji itu, lebih dominan, bagaimana caranya bisa menjadi Kades (pemimpin) ditingkat desa?
Maaf, kita punya banyak orang-orang pintar, tapi sangat sedikit punya orang jujur dan bertanggungjawab. Pada kelompok kecil Sembilan Tungku, Sembilan Belango (Piuk) itu, mereka menerapkan Hukum malu, malu menjadi Hukum tertinggi dalam kehidupan mereka.
Seiring berjalannya waktu, yang tak terbantahkan dengan perkembangan dari waktu kewaktu, (hitungan hari, minggu, bulan dan tahun), ilmu malu (Hukum malu) tidak dipakai lagi.
Dimasa Sembilan Tungku dengan Sembilan Belango, sebagai alat masak mereka berjumlah puluhan orang, tak sampai seratus orang. Mereka pergi dan masuk kedaerah lainnya dan menerima tamu dari luar dusunnya, tetap berpegang teguh dengan Hukum Adat di Tigo Luhah Tanah Sikudung, Kerinci.
“Datang tampak muka pergi Nampak Punggung” bertegur sapa dalam kegiatan seharinya dalam mencari kehidupan selalu mengutamakan “tegor sapa, yang sopan dan santun” Ini dibuktikan dengan “perbuatan dan tindakkan” dalam kehidupan mereka sehari-harinya. Kata pendapat Almarhummah M Nur, Mantan Kades Tanjung Genting, yang demokrat itu.
Dari Sembilan tungku atau kepala keluarga (kk), berkembang menjadi dusun lalu desa, pemakaian Hukum Malu masih kuat. Namun akibat perkembangan zaman dan pembangunan masih terjaga dalam Hukum adat Kerinci, khususnya di “tigo luhah tanah sikudung” disebut Negeri, dusun dan desa Berpagar Adat, Tepian Berpagar Malu. Namun, kerusakkan nilai budaya yang positif sudah semakin pudar, bahkan menjurus pada kehancurannya.
Yang disebut berpagar adat, ada aturan yang berlaku didalam negeri/ dusun untuk melaksanakan Hukum Adat (Hukum yang berlaku didalam negeri/ dusun masing-masing, Guna menjaga roh marwah kebersamaan, “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”
Yang dimaksudkan dengan Tepian Berpagar Malu, masyarakat tempo dulu secara teknologi jauh dari kemajuan zaman, masyarakat/ warga negeri/ dusun bahkan desa mandi di Sungai tanpa penutup dan terbuka, belum punya WC tertutup seperti sekarang.
Maka mereka menjaga sekuatnya. Mungkin dibagian hulu (mudik) istri (bini orang mandi) dan anak gadis serta janda sebaliknya, maka tepian mandi antara kaum hawa (perempuan) dipisahkan jauh dari kaum laki (jantan).
Untuk menghindari saling pandang, (lihat) dan bagi yang mandi harus menggunakan penutup yang cukup (baik), seperti disebut kain basahan, bukan pakai Color (cinfac/ cawat).
Ditepian mandi jangan seperti burung layang-layang menyapu buih, ditengah (tempat) kaum perempuan mandi. Yang dimaksud dengan layang menyapu buih, laki-laki (jantan), atau anak bujang hilir mudik ditepian mandi. Kalau hilir mudik ditepian mandi berarti, mengintif anak bini orang (istri orang), bini kawan (kanti), anak gadis dan janda yang mungkin mandi dibagian hilir, mungkin dimudiknya disepanjang sungai terbuka didalam negeri.
Kebanyakkan yang disebut bak layang-layang menyapu buih, para anak bujang yang mengitif perempuan (batino mandi). Itu juga disebut bujang-bujang mato pengedip (kamuden) bahasa Kerinci, melihat perempaun cantik yang tengah mandi. Juga disebut bujang pengedip dan gatal tangan.
Jika tertangkap sedang mengitif dapat dikenakan hukum denda secara adat, dan dibayarkan dirumah gedang (rumah pertemuan dalam kerapatan adat), oleh pengurus adat dalam negeri.
Jadi jauh sebelum Indonesia merdeka penerapan Hukum malu dan Hukum adat berlaku diseluruh nusantara sesuai dengan adat yang berlaku dimasing negeri, dusun dan desa. Bagiamana kondisi terkini atau zaman now melenium hampir semua hukum adat sudah dirusak akibat budaya dari luar, yang sama sekali bertentangan dengan Hukum adat masyarakat Melayu negeri Nusantara.
Nah bagaimana dengan situasi dan kondisi masyarakat Tigo Luhah Tanah Sikudung Siulak, khususnya Desa Tanjung Genting dan Tanjung Genting Mudik? Setelah pemekaran desa beberapa tahun lampau.
Dari segi Hukum malu yang tertinggi dan Hukum adat yang disebutkan diatas Negeri Berpagar Adat, Tepian Berpagar Malu, Nyaris tidak diindahkan dan digunakan sama sekali…?
Perempuan sudah sangat berani tampil didepan umum memamerkan dada dan kecantikkannya secara semberono, (semaunya) hingga memancing muculnya bujang-bujang pengedip mata (mato), dan bujang-bujang gatal tangan. Tak heran banyaknya muncul tindakkan criminal perkosaan, pelecehan seksual dan kejahatan lainnya.
Pertanyaan muncul secara alami dari warga itu sendiri, kenapa kenakalan terjadi dimana-mana? “ Maling, rampok, Narkoba dan sejenisnya, Pelecehan seksual, korupsi (merampok) uang rakyat. Karena nilai-nilai budaya yang positif peninggalan para leluhur tidak dijaga dan dirawat bahkan ada yang sama sekali tidak lagi digunakan.
Dengan meminjam istilah orang bijak, “yang tua tidak tahu dengan tua dirinya, bak tua-tua keladi, semakin tua perangai buruknya menjadi-jadi” dan yang muda tidak pandai menghormati yang tua, bahkan berani melawan orang tua kandunngnya, ini yang dikatakan runtuhnya degredasi moral. Hidup tak bermoral. Seharusnya ajaran dari Hukum malu, Hukum adat menjadi pegangan bagi generasi muda kedepannya.
Tanjung Gentingku Sayang, Tanjung Gentingku Malang? Sebuah phenomena baru dalam kehidupan terkini. Dulunya dari negeri / dusun-desa Tanjung Genting, masyarakatnya berbudaya tinggi, dengan sopan dan santunnya, ikhlas berbagi rasa dalam kehidupan dan kesulitan ekonomi, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Untuk membangun kembali nilai-nilai Roh Marwah kebersamaan, harus dimulai dari pemimpin yang jujur, berani, arif dan bijaksana. Mampu menguburkan rekam jejak buruk yang kronis dimasa lalu. Dengan melaksanakan amanah dan amanat yang diberikan masyarakat kepadanya selaku pemimpin desa (kepala desa).
Dan itu belum cukup, harus ditindak lanjuti kaum adat dan ketuanya, tokoh masyarakat yang berpengaruh, tokoh agama, tokoh pemuda dan seterusnya, jangan sekali-kali menggunakan kata sudah terlambat. Karena kata terlambat identik dengan keputus asaan, (pasrah) tanpa berjuang.
Untuk mengembalikan Marwah Roh Kebersamaan, mari kita perjuangkan bersama dimulai dari memperbaiki diri sendiri, keluarga, anak, menantu, ponakan dan istri (AMPI), lingkungan dan keluarga besar. Ini harus dimulai dari dalam rumah masing-masing.
Jika ini dilakukan insyaallah, Tanjung Gentingku Sayang, tidak akan berubah menjadi Tanjung Gentingku Malang?. Laporan dari Marhaen Jurnalist BiDiK07 ELANGOPOSiSi, Tim Catatan Terabaikan.
Adanya pengakuan dari Kades Tanjung Genting, “Delton Arialsandi” masyarakat Tanjung Genting “payahnya menuju kebersamaan”
Ditengah antusiasnya warga masyarakat peserta Turnamen Kades CUP, yang diikuti 20 Club volly ball memperebut Piala Kades CUP Tanjung Genting yang di siapkan Panitia dan Kades Jendri Tonga Tanjung Genting, dan Delton Arisandi Kades Tanjung Genting Mudik, seharusnya menjadi ajang olah raga bergengsi ditingkat desa, khsusnya “Voly Ball” apa lagi ini menggunakan dana desa (DD), dalam pelaksanaannya.
Turnamen, yang dibuka 5 Juni 2021 lalu, lima bulan lampau dalam sambutannya Delton mengatakan untuk “menjaga dan mempererat tali silahturahmi” bukan sekedar memperebut Piala Kades CUP 2021.
Seharusnya mampu membangun hubungan baik dua pemimpin ditingkat desa, dan masyarakat yang damai, nyaman dan aman. Tidak sebaliknya.
Kurang nyamannya masyarakat Tanjung Genting dan Tanjung Genting Mudik, dugaan erat kaitannya dengan dua Pilkades tahun 2018 silam dan Pilkades 2021 yang baru lalu.
Ketika desa ini bernama Tanjung Genting, tidak ada mudik dan hilir (Tanjung Genting), kehidupan berjalan aman-aman saja. Seharusnya lebih aman dari sebelumnya.
Dari keterangan sumber sebut saja JR (45th), pada (15/10/21) lalu mengatakan Kades Delton dan Kades Jendri Tonga “miss komunikasi” dengan sebagian warga dan Karang Taruna Tanjung Genting hal tersebut, terjadi peristiwa di hall Badminton Desa Tanjung Genting (dusun induk), pada (10/10/21) dengan kronologis “hampir terjadi baku hantam” antara kades Jendri Tonga dan Delton Arialsandi dengan salah satu pemuda (Jo dkk).
Dilanjutkan jr pangkal masalahnya oknum jo dkk (10/10/21) ingin meminjam hall Badminton untuk dijadikan kegiatan hiburan Bulu Tangkis, namun anak Kunci Pintu hall tidak di berikan kepada oknum jo dkk oleh Kades Jendri Tonga Tanjung Genting, inilah salah satu pemicu terjadinya “miss komunikasi”tersebut.
Ditambah jr, (jo dkk) memaksakan diri masuk ke hall tersebut, mereka lagi asik bermai, jo dkk di datangi oleh kedua Kades dengan nada marah dan emosi dengan kata-kata fasilitas yang ada di hall ini saya yang beli dengan (uang pribadi) kata jr menerangkan cekcok pun tak bisa dihindari antara kades dan warganya sendiri.
Masih keterangan jr Kades Jendri Tonga mengatakan kepada jo dkk kilometer (amper listrik), net saya yang beli dengan nada tinggi jelas sumber menerangkan.
Serunya lagi kata jr kenapa Kades Tanjung Genting mudik (delton arialsandi) ikut marah-marah kepada oknum jo dkk sedangkan Delton adalah Kades Tanjung Genting mudik, bukan Kades Tanjung Genting.
Inilah yang sangat kita sayang kan kata jr memaparkan kepada peristiwa itu, dikutif tim Catatan Terabaikan.
Bahkan pihak yang merasa kurang senang, mengatakan seharusnya Delton mengurus desa yang di pimpinnya Tanjung Genting Mudik dengan kata lain urus rumah tangga masing masing ujar jr mengakhiri.
Delton Kades Tanjung Genting Mudik (16/10/21) saat diminta keterangannya seputar peristiwa yang terjadi (10/10/21) lalu Ia mengakui peristiwa itu memang, benar adanya.
Dikatakannya dengan nada mengeluh, seraya menjelaskan sangatlah sulit membangun kebersamaan di desa Tanjung Genting ada sebagian kelompok yang “egois” jelasnya pada Tim Catatan Terabaikan.
Dilanjutkan delton (saya, red) selama ini banyak mengalah apakah kami harus menyembah memohon agar kebersamaan bisa terbangun untuk kepentingan masyarakat Tanjung Genting dengan nada kecewa.
Saat diadakan kegiatan gotong royong “kerja bakti” tak satupun yang hadir (saya,red) membersihkan hall setelah usai bermain hal inilah katanya perlu sama sama kita jaga rasa memiliki terhadap aset yang ada.
Dijelaskannya, amper(listrik) ,net, bola lampu yang ada pada hall Badminton itu dibeli oleh kades Jendri Tonga dengan uang pribadinya.
Perlu wartawan tau setelah peristiwa malam tersebut (10/10/21) Tiang Net Volly Ball di bongkar para oknum, namun Ia tidak menunjukkan siapa inisialnya sedangkan turnamen Kades Cup Tanjung Genting belum selesai dan terpaksa saya ganti dengan yang baru dengan uang pribadi, paparnya.
Dalam pengamatan Jurnalist Beo.co.id di lapangan perselisihan pasca pilkades masih terasa dan belum mampu delton dan jendri tonga memulihkan situasi politik.
Setelah delton memenangkan pilkades dua tahun lalu pasca pelantikan terjadi pembakaran rumah ladang, sedangkan pasca pemilihan Kades Tanjung Genting Jendri Tonga, terjadinya Pemutasan Sungai Batang Merao dengan B3 hal ini di duga pemicunya diduga benturan pemilih kepala desa (pilkades).
Dan diharapkan masyarakat, seharusnya dua kades bertetangga langsung induk dan pemekaran mampu membangun nilai-nilai kebersamaan, dan tidak sebaliknya. Karena buah jatuh dari atas.
Dua kades terpilih itu seharus mampunya membangun silahturahmi ditengah terbelahnya silahturahmi di dua desa berasal dari satu rumpun, para moning keturuna Sembilan Tungku dengan Sembilan Belango.
Jangan ada lagi yang mengatas namakan kelompok kedua kepala desa tersebut adalah pilihan rakyat terlepas adanya (KKN) dalam praktik selama ini.
Masyarakat dari kedua desa dan keturunan serumpun bak bernaung dibawah rasa ketakutan dan penuh keraguan tidak nyaman dan aman.
Dalam Pilkades Tanjung Genting baik mudik maupun hilir, catatan terburuk pilkades selama beberapa kepemimpinan masa lalu.
Seharusnya delton dan jendri, berjiwa besar menyikapi sebesar dan sekecil apapun gejolak masalah yang muncul di masyarakat, jangan sekali kali mengedepankan emosi dan egois karena luka lama belum terobati disaat pilkades tidak perlu ditambah dengan luka baru.
Kades Delton yang dijumpai (16/10/21) mengaku dua Unit rumah ladang orang tuanya dibakar oknum yang tak bertanggung jawab. Hingga belum diketahui pelakunya.
Terlepas dari berbagai konflik ditengah masyarakat Desa Tajung Genting (induk) dan Tanjung Genting Mudik (pemekaran), keduanya lahir dari keturunan Sembilan Tungku (Belango), satu rumpun yang tak dapat dipisah dalam catatan sejarah berdirinya desa Tanjung Genting ini, harus menghapuskan noda-noda hitam itu.
Segera kembalikan roh marwah perjuangan dari pendahulu yang baik (Sembilan Tungku dengan Sembilan Belango), berat sama dipikul ringan sama dijinjing, didasari azas kejujuran, mau berbagi rasa, saling menghargai dan menghormati harus dimulai dari atas (pemimpin) yang baik. Amanah, dan amanat masyarakat dilaksanakan.
Maaf, tidak sekali – kali bertindak sebagai penguasa (bak raja-raja kecil) yang zolim. Pesan penulis kepada Jendri Tonga-Delton Ariasandi, “Kita Harus Benar Dulu, Sebelum Mencari Kebenaran itu? Dan katakanlah dengan tegas, Yang benar itu tetaplah Benar, Sekalipun Pahit diungkapkan”
Karena pemimpin itu ada saatnya bak air sungai yang keruh, kotor dan menjijikkan, terpaksa harus berada dimuara, yang hanyut Cangkang kayu berduri, bangkai binatang yang busuk, semua harus ditampung oleh seorang pemimpin yang baik dan tangguh.
Solusinya, kenapa air keruh ditengah sungai dan muara, maka harus dilihat dihulunya apa penyebab air keruh itu?
Karena dalam kehidupan setiap insane, semuanya punya masalah. Apa lagi dalam lingkup yang besar (masyarakat).Tinggal dilihat besar dan kecilnya masalah itu dan harus diselesaikan masalahnya, yakni duduk satu meja.
Karena kehidupan setiap detik masing-masing orang (kita) akan merasakan ada masalah. Lalau ada tanggapan, keluhan dalam diri apa lagi pihak yang merasa dirugikan. Dan harus ada jalan keluarnya, (solusi).
Jadi hidup ini, ada masalah, ada tanggapan dan harus ada solusi (jalan keluarnya). “Masalah, Tanggapan, Solusi” maka kita semua harus berada pada Solusi (jalan keluarnya) yang terbaik. Tidak berada (berkutat) dengan “Masalah, Tanggapan” tanpa Solusi. Semoga. (***).
Penulis Ketua DPD-KOMITE WARTAWAN REFORMASI INDONESIA Prov. Bengkulu, kelahiran Tanjung Genting Kerinci. Pemimpin Redaksi BiDiK07 ELANG OPOSISI & GEGERONLINE. Tinggal di Bengkulu.