spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Negeri Sakti Hancur di Tangan Manusia Rakus

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Ahmad Intong, kembali bertemu kawan setianya Hendra, “Sang, Caften Kidung Perahu Tiris,” ditanah hamparan, tempat Tabuh Besar (Tabuh Larangan) Negeri Sakti. Kali ini Hendra, mengajak Bujang Juaro, seorang tokoh muda yang cerdas putra terbaik Tanah Hamparan Negeri Sakti, mereka bertiga membicarakan “Kehancuran Negeri Sakti ditangan Manusia-manusia.
Rakus”.
Diskusi mereka mulai, sambil menikmati secangkir Kopi, dengan menu makanannya masih, “berkutat seputar Pisang Rebus” produksi Tanah Subur Negeri Sakti, yang dihidangkan Subaidah aktivis pendidikan (kaum umar Bakri), yang sering di idolakan “Pahlawan tanpa tanda Jasa.” Subaidah masih tersenyum dalam keadaan sakit, Ia dinyataka “gagal” tidak lulus Tes, kendati nilainya terbaik kedua, dari ribuan peserta.
Seraya menghibur tiga pejuang aktivis itu, yang hendak diskusi kehancuran negeri Sakti. “Jika kita berhenti berjuang detik ini, berarti kekalahan tiba, ayo-ayo dicicipi Pisang Rebusnya” seraya kembali tersenyum, masih tersisa dilesung Pipitnya, masa gadisnya Subaidah bak ratu kampong nan cantik berseri, alami, jadi rebutan para pemuda. Subaidah,…subaidah. Sayang kini kau bukan Subaidahku lagi?
Silakan diminum Kopinya dan Pisang Rebusnya dimakan, tawar Subaidah. Itu, bawaan Ibu dari Ladang (kebun) ketusnya, tertawa lepas haaahhhh.
Pejuang (aktivis), biasakan makan apa adanya, yang prinsip gerakan perjuangan, kebenaran untuk menyelamatkan Negeri Sakti, seloroh Subaidah dengan senyum dan keramahannya, mendesak, harus ber-jalan Bang.
Ya kata Hendra, seraya mengangguk-anggukan kepalanya, rakus dan zolim dalam kehidupan berdampak besar, terhadap masyarakat negeri Sakti, apa lagi kini musim turunnya rachmat dengan ditandai turunnya hujan, seharusnya menjadi anugerah buat kehidupan kita hari ini dan esok, jelas Hendra.
Pendapat Hendra dibantah Bujang Juaro, hujan tak selalu membawa rachmat, buktinya kini, negeri kita tanah Sakti porak-poranda dihajar banjir dan tanah longsor/ amblas dimana-mana, ini semua akibat dari perbuatan bejat tangan-tangan jahil (jail), melakukan penebangan hutan secara liar dan tidak bersahabat, semaunya ketua Bujang Juaro.
Hendra, maklum anak muda memang begitu, sayakan pernah muda juga dulunya. Tapi, control diri, nafsu dan akal itu penting, agar kita tidak jebak dalam alur cerita yang salah?.
Mana ada rachmatnya, jika tindakan dimulai dari perbuatan rakus, menebangi hutan, menggali sungai-sunga untuk tambang Pasir tanpa menerapkan beraturan, yang penting kaya-kaya…dan uang menglir kekantorng pribadi-pribadi tanpa mengindahkan aturan dan kepentingan yang lebih besar.
Keselamatan negeri kita tanah Sakti, gugat Bujang Juaro. Akhirnya Hendra, terpaku diam-diam,….kenapa diam apanya yang salah? Tanya Bujang Juaro, dengan amarahnya kian meninggi.
Hendra, lalu menjawab sabar-sabar, tak semua masalah bisa diselesaikan dengan kemarahan. Iya, aku faham kata Bujang Juaro, yang diamini Ahmad Intong. Tapi kerakusan, dan tangan-tangan berlumur dosa, membabat hutan semaunya, tidak dapat dibenarkan papar Bujang Juaro. Malah rajo kito “Sugindo” berdiam diri, ada apa ini? Tanya Bujang Juaroberulang-ulang kali, menyikapi kerusakan negeri Sakti yang kita cintai dan banggakan bersama ini, ketusnya.
Memang dosa itu tak Nampak, tapi dampak (akibat) yang ditimbulkan banjir, longsor, rumah hanyut, kampung (dusun) ditimbun longsor dimana-mana, itulah dosa dan juga neraka.
Neraka, tak harus menunggu kematian, ujian berat diberikan tuhan, itu pembalasan nyata dari perbuatan kita gumam Bujang Juaro. Lalu di amini, Ahmad Intong, itu benar Bang Hendra, ketus Ahmad Intong, Hendra termangu-mangu (bingung), kita apakan semua ujian ini?
Hendra, mengangkat kepalanya, seraya memandangi lawan debatnya Bujang Juaro, Ahmad Intong dan Subaidah sebagai tuan rumah.
Subaidah menyela, intrupsi bang Hendra, oh iya silakan pendapatmu sampaikan. Subaidah, dengan senyumnya yang lembut, seraya mengatakan, “abang-abangku ini silakan berdebat panjang lebar, yang penting kita dinegeri Sakti ini kedepannya mengubah prilaku, taat pada aturan tidak lagi melakukan penebangan hutan secara liar, dan merusak lingkungan, seperti menambang Pasir tanpa memelihara lingkungan dan pelestariannya.
Bukan tidak boleh membuka usaha apa saja, tapi ingat aturan dan perundang-undangan negeri harus ditaati, tegas Subaidah.
Begitu bang, seraya tersenyum kembali. Suasana tegang kembali redup dan tenang. Maksud, abang jelas Hendra, mari kita bahas soal kejahatan penebangan liar, dan perusakan lingkungan secara benar, jujur dan professional.
Tidak mengedepankan emosi (egois) yang tinggi. Saya sependapat dengan kalian, namun perlu dibahas dengan kepala dingin, tawar Hendra.
Saya faham lanjut Hendra, masalahnya kita sudah tahu, “penebangan liar, perusakan lingkungan lewat tambang, yang dikuasai kelompok tertentu, tapi yang abang maksudkan lanjut Hendra, tanggapannya tidak bisa dari hanya kita-kita ini, semua tokoh negeri ditanah Sakti harus dilibatkan, apa solusi (jalan keluarnya)?
Jika tidak sepakat menyelamatkan negeri bak “Sekepal Tanah Surga” ini yang dicampakan kebumi, kita khawatir menjadi tanah neraka, bisa hancur berkeping-keping, saya juga membayangkan mudaratnya, jika solusi menemui jalan buntu ditengah jalan, jelas Hendra.
Bagaimana pendapat Bang Bujang Juaro, Tanya Subaidah? Kalau saya, mudah saja tegakan undang – undang negeri, “rajo (raja) Zolim raja dilawan, raja alim raja disembah (dihormati), yang salah didenda, yang mati dibayar bangun, yang luka diobati (dipampeh).
Kebijakan yang baik dan benar dari “tuwo rajo” untuk membangun negeri, harus kita dukung. Seru Bujang Juaro. Tapi, jika “Tuwo Rajo” Zolim minimal diingatkan, bila tak mau diingatkan ya kita lawan, tantang Bujang Juaro.
Jadi solusi yang kita tawarkan atas kehancuran Negeri Sakti, kampung kebanggaan kita ini, selain melibatkan semua pihak Pemerintahan Tuwo Rajo, para hulu baling, cerdik pandai dan para Suluh Bindang Dalam Negeri, kita harus sepakat dengan banyak hal dan menegakan Hukum dan Undang-Undang antara lain, sepakat :
  1. Hentikan penebangan liar di Hutan Larangan.
  2. Hentikan penambangan yang tidak mematuhi ketentuan peruncdangan-undangan yang berlaku, tanpa terkecuali siapapun dia?.
  3. Petugas negeri harus berani dengan kejujurannya menegakan peraturan yang berlaku, tidak tebang pilih dalam penerapannya?.
  4. Perbaiki Lingkungan dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, lingkungan, Dusun, dan kegiatan dalam dunia usaha.
  5. Jadikan malu melanggar, diatas undang-undang tertinggi di negeri ini.
Itu pendapat dan saran saya, tegas “Bujang Juaro” yang di iyakan Hendra dan di amini Subaidah dan Ahmad Intong, setuju.
Jika setuju harus kita bawa kedalam kerapatan Adat dan anak negeri secara menyeluruh. Dengan mengadakan rapat umum, dan dibahas secara teknis dengan melibatkan ahli dibidangnya masing-masing, mulai dari “ahli Pertambangan, Lingkungan, ahli Topografi daerah, ahli dibidang Geologi, air, ahli Hukum Adat, dan masalah Sosial Kemanusiaan, intinya kita ingin menjawab tantangan yang semakin kompleks kedepannya, papar Bujang Juaro.
Ini baru diskusi, ada hasil yang akan dikedepankan sebagai solusi (jalan keluar) Nya, “hati boleh panas, kepala harus dingin dengan fikiran-fikiran yang cerdas, jujur dan berkelanjutan sampai negeri Sakti, trennya di “Sekepal Tanah Surga” yang dicampakan ke bumi, jangan sampai jadi tanah Neraka?.

Bersambung pada Bagian ketiga,……edisi mendatang.

Jika terdapat nama dan tempat yang sama, itu hanya kebetulan. Ini sebuah kisah Nyata, yang ditulis oleh seorang Wartawan dalam versi fiksi, menghibur hati dan jiwa menjelang tidur. (*)

Kisah Singkat Jurnalis Gudi Podcast Kemenag Rejang Lebong

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Headlines

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts

https://situs-toto.togel.togetherband.org