Ternyata jadi Wartawan tidak mudah, bak membalikan telapak tangan. Wartawan dituntut mencari kebenaran, bukan pembenaran untuk yang bayar.
Telah diamanatkan dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dilengkapi dengan 11 point Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia, harus mentaati KEJ sebagai pedoman dan etika moral Wartawan dalam menjalankan tugas, dengan asas dasarnya diamanatkan untuk mencari kebenaran dari sejumlah peristiwa (kejadian), ditengah masyarakat.
Sebelum disempurnakan KEJ (Kode Etik Jurnalistik) Wartawan Indonesia, namanya KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia), yang dibahas dan disepakati oleh 28 Organisasi Wartawan Indonsia yang sah, saat itu.
Lalu diubah (direvisi) dan disahkan oleh 29 organisasi Wartawan dan Perusahaan Pers Indonesia, di Jakarta, 14 Maret 2006, yang disebut : KODE ETIK JURNALISTIK (KEJ) WARTAWAN INDONESIA.
Dalam melaksakan tugas peliputan, investigasi reporting Wartawan harus mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tetap mengutamakan kepentingan umum (Publik), baca dan simak Konsep 8 (delapan) konsep berita jurnalistik, (George Fox Mott), yang telah ditulis sejumlah meda masa.
Kebebasan yang dimaksud tidak menciderai kepentingan umum. Tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), tetap berada dalam kebenaran pengungkapan sesuatu peristiwa.
Bagi Wartawan yang melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) diberikan sanksi oleh Dewan Pers, atau Organisasi Wartawan dan Pemimpin Redaksi.
Berikut petikan amanat dari isi Kode Etik Jurnalistik, sebagai etika moral dalam menjalankan tugas.
Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
Pasal 2, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6, wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaanya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa.
Pasal 11, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Dari Sebelas point KEJ, setelah disimak dengan cermat dan difahmi telah memberikan pedoman kerja/ tugas yang luar biasa terhadap Wartawan Indonesia.
Penulis, sudah lebih kurang 35 tahun menekuni profesi Wartawan dari tahun 1987, dalam era rezim orde baru (orba), dan era 5 presiden RI setelahnya, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dua periode dan Presiden RI ketujuh Joko Widodo, dua periode.
Era orde baru, terasa kerasnya pemasungan kebebsan dan kemerdekaan Pers. Tak heran jika rumah-rumah wartawan sering disambangi Intelijen Negara, bagi yang menulis keras dan kritis, saat itu.
Dan wartawan yang menulis keras dan kritis, terhadap kebijakan pemerintah yang kurang prorakyat, bisa dituduh menghambat jalannya pembangunan, yang direncanakan lewat Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) menjadi Pembangunan Lima tahun (Pelita).
Indonesia berkembang pembangunannya secara fisik, namun secara demokrasi banyak pihak menilai kebebasan itu dan kemerdekaan ditenggelamkan kedalam sistem diktator oleh penguasa.
Era pemerintahan orba, kebebasan menyampaikan pendapat didepan umum tertulis dan lisan, kendati dijamin oleh UUD 1945 pasal 27 dan Pasal 28, hurup (F), terasa sangat berat oleh ormas, OKP, Pers dan aktivis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Perubahan terjadi setelah Presiden Soeharto, turun dari jabatannya dengan cara mengundurkan diri atas desakan dan tekanan mahasiswa / Mahasiswi dan masyarakat Indonesia mei 1998, yang digantikan H. Baharuddin Jusuf Habibie.
Dimasa BJ Habibie, lah terjadi perombakan besar-besaran atas tuntutan reformasi masyarakat Indonesia, termasuk perubahan mendasar UU Pokok Pers, menjadi Kemerdekaan Pers. Dan lahirnya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Perubahan ini, oleh Presiden RI dan DPR-RI (saat itu), pantas dicatat sebagai Tinta Emas, bagi Kemerdekaan Pers secara Nasional.
Seiring berjalannya waktu, Presiden BJ Habibie digantikan Abdurrahman Wahid (Gusdur), dan Gusdur digantikan oleh Wakilnya Megawati Soekarno Putri, yang menjabat cukup pendek dua dan tiga tahun, (Gusdur-Mega).
Dari era orba ke eratransisi, Soeharto-BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarno Putri, dicatat dalam sejarah perjalanan bangsa, adanya konflik politik.
Dan Kemerdekaan Pers/ Wartawan berjalan dengan baik, kendati disana-sini, masih terasa adanya tekanan, dalam bentuk dan cara berbeda, namun volumenya sudah mengecil.
Lalu dalam pemilihan langsung oleh rakyat Indonesia, muncul Presiden baru Indonesia Susilo Bambang Yudhyono, hasil pilihan rakyat, dalam dua periode, Kemerdekaan Pers kian membaik, bahkan dirasa lebih demokratis.
Tidak ada lawan-lawan politiknya ‘’yang dipenjarakan, termasuk para aktivis Pers, Ormas, OKP, masyarakat yang kritis menyoroti kebijakkan pembangunan selama sepuluh tahun’’ Sistem yang dibangun dan dilaksanakan Presiden SBY, terasa lebih demokratis kendati Ia juga dari militer.
Dan pada Pilpres berikutnya, muncul Ir. Joko Widodo, 2014-2019 dan 2019-2024, diera reformasi yang sudah berjalan selama lebih kurang 23 tahun, banyak para tokoh ormas yang ditahan, dengan berbagai tuduhan yang paling populer belakangan ini KH. HRS, (Habib Rizik Shihab), yang baru dikeluarkan dari tahanan Lembaga Pemasyarakatan, bebas bersyarat (bb), yang cukup panjang.
Bagaimana dengan Kemerdekaan Pers? Masih berjalan baik. Hanya saja media social (medsos), banyak dipersoalkan, karena laporan yang ditulis (disampaikan), belum terklarifikasi dengan baik dan benar, terkesan bersifat tuduhan semata, ada unsur ‘’suka tidak suka’’ dengan cara kebablasan.
Hanya menggunakan kebebasan semata, banyak yang bermuara pada persoalan dugaan pelanggaran Hukum, tak heran pelakunya berurusan dengan pihak berwenang (berwajib), Penyidik Kepolisian RI, dengan dasar Hukumnya UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian, sesuai peran, fungsi dan tugasnya, selaku penyidik utama dan menegakan supremasi Hukum di Indonesia, yang kita cintai ini.
Maka Kemerdekaan Pers, yang diberi payung/ dasar Hukumnya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, dipagari dengan 11 Point Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai etika moral, (pedoman) bagi Wartawan dalam menjalankan tugas Jurnalistiknya.
Dengan UU No.40 tahun 1999 dan KEJ, masih banyak penerbitan Pers dan sejumlah oknum Wartawan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU dan KEJ, seperti melakukan ‘’pemerasan,’’ terima Suap dari penyuap dalam sejumlah kasus, terutama kasus-kasus besar, ‘’Korupsi, Mafia Tambang, dan Kasus penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara’’ agar tidak diberitakan, (pubblist) disiarkan.
Tak heran banyak oknum Wartawan naik daun dari sisi vinansial, baru menjadi okb (orang kaya baru), standar kelas bawah, punya mobil sampai tiga, dengan harga dibawah Rp200 juta/ mobil, rumah sampai dua, Kebun Sawit, dan tanah total nilai dibawah Rp 1 M ?. Hanya dugaan memperolehnyadengan cara meredam kasus.
Dan banyak kemudahan diperoleh, jika mau bahkan ada Istri oknum Wartawan masuk Pegawai PNS gratis, alias tanpa Tes. Itu terjadi sekitar 20 tahun silam, di Kabupaten Rejang Lebong, setelah era reformasi.
Dan kerugian terhadap keuangan Negara tidak sebera, dengan istilah popular di kalangan Pers daerah itu ‘’ uang jin dimakan setan ‘’
Lain lagi di Kabupaten Kerinci, Jambi, kasus serupa tapi tidak sama, Wartawan baru (Pemula), yang sedang semangtnya bekerja, justru dikerjain oleh Pemprednya dan berulang kali mengirimkan berita tambang liar dilengkapi foto dan Videonya, serta pemakaian minyak Non Industri, dan tambang liar yang dikelola PT. KRP, milik RK 50 tahun, kepada Pempred dan Penasehat/ Pembina sebuah media online LAN, tidak dinaikan beritanya tanpa penjelasan.
Itu memang kasusnya kecil, namun dampak yang ditimbulkan dari tambang liar, telah merusak ekosistem dan menghancurkan daerah Sungai Tuak, Siulak Deras Kerinci, Jambi. Peristiwanya tahun 2022 dan 2023, ironisnya redaksinya, keberadaan sang Wartawan tidak diakui lagi sebagai wartawan media online LAN, dengan adanya perubahan diredaksional media tersebut, berganti Pempred.
Padahal berita dikirimkan Wartawan pemula, Rekardo itu justru dibungkap Pemprednya tanpa penjelasan, kata Rekardo kepada penulis.
Peluang Mafia: Bagi wartawan aktive dan berani membongkar kasus-kasus besar dibidang Pertambangan, Korupsi dan Penyalahgunaan jabatan oleh kepala daerah peluang terbuka lebar, jika ditambang kental dengan sebutan mafia Tambang, dimedia juga kental dengan kasus Maber, ‘’mafia berita’’ tergantung pribadi oknum wartawan masing-masing.
Mafia berita lainnya, ada di sejumlah oknum wartawan menjadi pemborong bayangan, secara faktual tidak ada nama oknum wartawan, menanda tangani kontrak, namun setiap tahun mendapat jatah proyek PL (Pemilihan langsung dan atau Penunjukan langsung), dengan nilai rata-rata dibawah Rp250 juta, juga terjadi di Kerinci, sejak tahun 2014-2019 dan 2019-2024, (dua periode) masa jabatan bupati Kerinci.
Cheknya mudah, media yang disingkat Online’’Smb’’ itu seluruh berita yang dimuat hampir semua berita serimonial, kegiatan ‘’bupati Kerinci tentu yang baik-baik dan indah-indah,’’ bahkan terkesan memuja dan memuji-muji.
Dan Nyaris tak pernah menyentuh berita kasus dilingkungan Pemdakab Kerinci, semua bersih, seolah tak pernah terjadi, peristiwa dan penyalahgunaan jabatan, apa lagi korupsi dan pembiaran.
Kata mantan pemborong berinisial KS, awal Februari lalu, menjelaskan secara rinci kepada penulis. Kini KS sejak beberapa waktu lampau, memilih mundur dari pekerjaan pemborongan, karena lelah memberikan, ‘’fee’’ sebelum lelang dimulai, kalau mau menang.
Kata sumber itu, seraya minta tidak ditulis nama terang dan lengkapnya. Ks, menjelaskan praktik oknum Wartawan jadi pemborong bayangan, praktiknya mirip dengan oknum dewan Kerinci, yang jadi pemborong bayangan, tegasnya.
Menurut Ks, siapapun yang menjadi Bupati Kerinci kedepan, jika tidak ditegakan sistem pengawasan yang benar, berani dan konsekuen, tidak tebang pilih ‘’jangan harap mutu pembangunan Kerinci akan membaik sesuai umur rencana bangunan’’
Apa lagi nilai kegiatan proyek miliran rupiah, minimal fee 15 % termasuk untuk oknum di dinas instansi terkait mengelolanya, baik APBD sumber Dana Alokasi Umum (DAU), dan APBN sumber DAK (Dana Alokasi Khusus).
Belum lagi oknum pejabat Negara, yang meminta jatah proyek, praktiknya mirip dengan oknum Wartawan, LSM dan oknum dewan cara kerjanya sama.
Teori praktik yang satu ini, sangat sulit tersentuh aparat penegak hukum? Kalau bukan penyidik yang berpengalaman, memeriksanya.
Karena yang diperiksa saat timbul masalah, pekerjaan terlambat, diduga mencuri volume pekerjaan, fee dan lain sebagainya, penanda tanganan kontrak Direktur atau Kuasa Direktur, sulit melibatkan oknum Wartawan, Pejabat, LSM dan Oknum dewan. Maka tuduhannya fitnah, dan bisa berbalik arah kepada pelapornya yang akan jadi tersangka.
Jadi tantangan menekuni profesi Wartawan sangat berat, selain mendapat tekanan dan ancaman dari pihak-pihak yang diberitakan baik secara fisik, terror mental, keluarga dan lain sebagainya sangat kuat. Tak heran, banyak oknum Wartawan pilih kompromi dengan menghilangkan pemberitaan terhadap kasus-kasus besar dengan resiko besar pula.
Dan banyak oknum Wartawan, memilih jalan aman, bersahat kental dengan, ‘’Koruptor, Mafia tambang dan Pejabat yang yang menyalahgunakan wewenangnya’’
Uang dapat, kawan banyak dan menyenangkan dari sisi vinansialnya, bahkan ada oknum wartawan mengatakan kepada penulis, ‘’masalah yang terjadi, tidak cukup kuat bagi kita untuk mengeremnya, apa lagi menghentikannya, maka lebih baik ‘’memilih jalan dengan istilan saling memahami/ saling mengerti’’ nah pilih yang mana, tergantung masing-masing wartawan.
Jika berdasarkan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), asas perjuangan dasar Wartawan Indonesia memperjuangkan kebenaran, bukan membela Pembenaran untuk yang bayar…???.
Solusi, (jalan keluarnya) menjelang pilkada 2024, bacalah rekam jejak pra bakal calon kepala daerah, kabupaten dan kota untuk daerah Kerinci, Jambi. Perjuangan untuk kebaikan harus dimulai dari calon pemimpin yang berakhlak baik, jujur, berani dan bertanggungjawab, untuk membangun Kerinci kedepan, yang pro kepentingan rakyat. SEMOGA. (***).