LEBONG, BEO.CO.ID – Puluhan kilo dari pintu gerbang rimba Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), para profesi sebagai kuli angkut yang biasa disebut “capung” yang akrab terdengar ditelinga masyarakat, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu demi memperjuangkan hidup dari keterbatasan.
Mereka terbiasa berjalan kaki sambil memikul beban untuk memenuhi kebutuhan pokok dari hasil bumi yang mereka dapatkan. Selain menjaga pelestarian hutan TNKS.
Bahkan jalan yang dilewati hanyalah jalan setapak dengan lebar kurang lebih 2 sampai 3 meter. Dan didominasikan lumpur yang digenangi air serta medan yang cukup berat, menanjak dan naik turun melewati beberapa anak sungai.
Selain itu, setiap perjalanan mereka menentang maut dari ganasnya binatang muas yang siap mengintai disepanjang perjalanan. Dari mulai pintu keluar dan masuk gebang TNKS yang jaraknya ditempuh 10 Km. Dari profesi kuli angkut mereka hanya mendapatkan Rp. 2000 per kilogramnya.
Diantara salah satu dari mereka sempat bertemu kepada wartawan media ini ketika mengunjungi ke Desa Sungai Lisai, Sabtu (23/1/21). Dalam pertemuan itu tidak banyak yang ditanya. Media hanya menanyakan beberapa jauh lagi menuju ke Desa Sungai Lisai.
“Kurang lebih 2 Km lagi sampai ke Desa Sungai Lisai,” kata salah satu seorang yang berprofesi sebagai Pecapung yang tidak diketahui namanya, sambil memikul karung yang berisi kopi sebagai beban bawaannya.
Diterang salah satu warga Ketenong II, saat dijumpai dikediamannya, ketika ditanya medan jalan akses ke desa Sungai Lisai yang dihuni 300 kepala keluarga (KK), Sabtu siang (23/1/21) pukul 11 : 24 WIB.
Afril Lia (28) mengatangkan, jalan bisa dilewati ketika cuaca panas, jika cuaca musim hujan takutnya kendaraan roda dua sulit masuk. Biasanya masyarakat disini menggunakan kendaraan yang sudah modifikasi dengan roda tahu seperti motor trail.
“Sekali keluar kopi mereka puluh ton bang, ada yang membawa pakai motor dan pulang yang memikul beban bagi yang tidak memiliki kendaraan,” terang Lia kepada awak media ini.
Disampaikan Lia lagi, mereka yang tinggal disana memiliki pemikiran yang luas, khusus untuk pendidikan bagi mereka itu adalah paling utama, walaupun mereka tinggal ditempat terpencil.
“Buktinya, banyak anak-anak Desa Sungai Lisai yang bersekolah dipasar Muara Aman bahkan Provinsi Bengkulu,” ucapnya.
Lanjut Lia mengatakan, balik cerita capung atau kuli angkut ini merupakan kerjaan tambahan, ketika menjelang panen kopi dan hasil bumi lainnya.
“Jika tidak, cuma sedikit hasil bumi yang dibawah kesini Sebelat dan Ketenong,” jelasnya.
Ternyata sudah 75 tahun kemerdeka bangsa Indonesia, masih banyak catatan perjuangan masyarakat daerah tertinggal, contohnya masyarakat desa Sungai Lisai yang tinggal dijantung TNKS berada di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu untuk bertarung hidup dan melawan terbatas dalam perkembangan zaman.
Pewarta : Sbong Keme