Catatan yang terabaikan, Gafar Uyub Depati Intan
Mafia, (tindakkan) yang dapat merugikan, mempengaruhi dan membahayakan orang lain, bisa terjadi kapan dan dimana saja, tanpa mengenal waktu. Mafia, para pelakunya bisa terorganisir, (masip) tertutup dengan jumlah yang banyak, kelompok menengah, kecil dan perorangan, tujuannya semata menguntungkan diri sendiri, kelompok tertentu. Kinerja mafia, tidak mengenal iba dan perikemanusiaan. Disini penulis menyoroti keterlibatan oknum pejabat, sehingga tidak berjalannya pengawasan pembangunan secara internal sebagaimana mestinya.
Praktik mafia pembangunan hampir terjadi setiap tahun anggaran. Umumnya dimulai setelah anggaran disahkan DPR-RI ditingkat pusat dan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, untuk daerah. Dugaan kentalnya permainan mafia, ada perusahaan yang sudah menang dibatalkan. Permainan seperti ini, diduga melibatkan para oknum panitia lelang. Dan terkadang memenangkan perusahaan yang kalah dan harus dimenangkan, karena sudah banyak keluar biaya lelang (tender).
Dan biaya pelicin lainnya, misalnya adanya permainan “fee” uang setoran siluman kepada oknum pejabat tertentu, yang punya kewenangan dalam menentukan kebijakkan pembangunan disuatu daerah.
Karena kepala dinas yang bertahan memangku jabatan bertahun-tahun dianggap mampu dan berprestasi, bukan prestasi kinerjanya saja yang baik. Tapi, dianggap mampu mengamankan “fuul-kebijakkan” oknum pimpinan daerah.
Dan sebaliknya ada oknum pejabat di OPD yang tidak berprestasi, tidak punya kinerja yang baik, tapi dianggap mampu mengamankan kebijakkan pembangunan yang berbau “fee” bertahan memangku jabatan bertahun-tahun lamanya.
Kenapa para oknum Direktur Perusahaan, masih banyak yang mau membayar “fee” atau setoran gelap itu? Tujuannya untuk memuluskan dapat pekerjaan, setiap tahun anggaran. Bahkan ada oknum Dirut perusahaan, yang memang menjadi tim sukses saat Pilkada berlangsung, dan mereka bukan sekedar tim melainkan sumber dana bagi balon/ calon kepala daerah.
Dan setelah kepala daerah terpilih dilantik, mereka ingin mengembalikan kerugiannya melalui kegiatan pembangunan dengan mendapatkan pekerjaan, dibidang pekerjaan (pemborongan) yang digelutinya. Jadi permainan para mafia sudah lama masuk ditubuh para oknum pejabat Negara/ daerah bermental “korup.”
Dampak yang ditimbulkan cukup beragam, mulai dari para kontraktor pemenang harus mengeluarkan banyak uang, untuk membiayai non fisik (uang siluman), seperti “fee” dan lain sebagainya, yang secara hukum sulit dibuktikan.
Karena pihak yang dirugikan, banyak yang takut menceritakan fakta kepada para Jurnalis, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), para Aktivis Hukum, tokoh Politik, masyarakat, apa lagi ke aparat penegak Hukum.
Mereka berani bercerita bila sudah sangat terdesak, dan punya kepentingan pribadi dan perusahaan. Karena secara umum baik bagi perusahaan yang menang lelang ataupun yang kalah, masih jauh dari professional.
Jadi banyak hal yang melahirkan kebohongan dalam pelaksanaannya secara fisik. Selain, sudah keluar uang banyak, keperluan non fisik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mafia pembangunan, berdampak terhadap tidak dicapai kualitas fisik secara riil dilapangan, menyimpang dari SPEK (Spesifikasi Pekerjaan), menyimpang dari pedoaman baku yang seharusnya dikerjakan. Seperti yang dicantumkan dalam RAB (Rencana Anggaran Biaya), masing-masing kontrak kerja, yang ditanda tangani kedua belah pihak.
Maka sudah seharusnya pejabat Negara/ daerah yang terlibat mengelola kegiatan pembangunan (proyek) fisik dan non fisik, seharusnya murni bertindak selaku pengawas dan Pembina yang professional, dalam penggunaan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK)-sumber APBN, dan Dana Alokasi Umum-sumber APBD daerah masing-masing.
Adanya mafia pembangunan dapat dilihat dari hasil akhir, setelah pekerjaan dilakukan serah terima pertama dan serah terima akhir (finish handover) dinyatakan selesai 100 % (seratus persen) dan keuangan proyek dicairkan 100 % dengan lampiran fisik yang dikeluarkan pengawas lapangan, disetujui PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan PPTK (Pejabat Pelaksanaan Teknis Kegiatan), dan diperkuat laporan hasil tim pemeriksaan, dulunya bernama Tim PHO.
Yang nota benenya berasal dari orang-orang dinas terkait, sebagai pemeriksa secara umum dinyatakan layak diterima. Maka keuangan kegiatan di cairkan 100 %, tapi kenyataannya banyak sekali bangunan berumur pendek, bahkan ada yang seumur jagung sudah hancur kembali.
Dimulai dari pekerjaan pemeliharaan rutin, rehabilitasi, pembangunan baru; rehab berat, ringan. Hasilnya banyak yang tidak sesuai dengan rencana semula, namun tetap dinyatakan diterima, bahkan ada yang tidak ada temuan lapangan?.
Ironisnya umur bangunan justru pendek, tidak sesuai dengan rencana semula. Dan tidak dipersoalkan oleh dinas dan instansi terkait sebagai pengelola keuangan dari APBN dan APBD masing-masing daerah. Ini ditemukan penulis dari Tim Cacatan yang terabaikan.
Disinilah Bupati, Walikota dan Gubernur Kepala Daerah harus menjadi pengawas yang baik, dan Pembina di jajarannya. Dari temuan penulis dilapangan, banyak ditemukan kondisi bangunan berumur pendek di Pemda Kabupaten Kerinci, dan Pemerintah Kota Sungai Penuh, Jambi.
Pemeliharaan rutin masih banyak ditemukan Jaringan Irigasi yang semak belukar ditumbuhi rumput liar, Jalan kabupaten, dan asset daerah yang terbengkali. Banyaknya bangunan yang tidak terpelihara sebagaimana mestinya, DPRD harus melakukan koreksi secara professional, dan mempertanyakan usulan dana pemeliharaan yang diusulkan oleh dinas terkait, yang diajukan oleh masing-masing Bupati, Walikota dan Gubernur/ Kepala daerah disetiap tahun anggaran.
Lemahnya pengawasan, dan laporan hanya diatas kertas menyatakan rata-rata baik. Namun, kondisi riil dilapangan justru bertentangan dengan laporan tertulis yang dinyatakan berjalan baik.
Berikutnya pada kegiatan Pembangunan di Pemkab Rejang Lebong, Lebong dan Kepahiang, pada umumnya pembangunan di sektor Sumber Daya Air (SDA)-Pengairan, Jalan, Jembatan di Bina Marga dan Bangunan Gedung dan jalan lingkungan di Bidang Cipta Karya.
Secara teknis yang ditangani langsung oleh Dinas PUPR, dan dikelolanya. Dan dinas instansi lainnya hanya melibatkan Dinas PUPR, sebagai teknisnya. Banyak ditemukan bangunan yang berumur pendek, bahkan ada yang menahun terbengkalai.
Dan temuan yang kronis, di sejumlah perusahaan air minum PDAM milik BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), baik di Kerinci, Rejang Lebong dan Lebong yang sumber dananya sejak berdiri sampai saat ini, belum mampu memberikan konstribusi air kepada pelanggan (konsumen).
Bukti-bukti ditemukan dilapangan, masih banyaknya sambungan yang tidak memenuhi persyaratan, bahkan ada sambungan liar. Ini menyangkut penerapan manajemen yang lemah dan pengawasan yang tidak akurat. Bahkan, para oknum yang diduga terlibat justru oknum dari Karyawan PDAM itu sendiri.
Padahal hampir setiap tahun anggaran, pihak PDAM mengajukan usulan dana ke Pemerintah daerah. Itu bisa dilihat dari usulan yang disampaikan ke pemda setempat oleh pihak perusahaan dan dilanjutkan ke DPRD masing-masing, dan disahkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah (sebagai jelmaan) dari masyarakat itu sendiri.
Angka-angka yang telah diusulkan dan di kabulkan pihak DPRD, untuk menjawab kepentingan masyarakat, dapat dilihat dari APBD masing-masing daerah setiap tahunnya, yang telah diketok palu (dikabulkan), namun pelayanan maksimal belum mampu ditunjukkan.
Selain di PDAM, pengadaan air bersih juga ada melalui Pengadaan Air Bersih Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), yang tidak normal sebagaimana mestinya, bahkan ada yang “kering kerontang” tanpa air sama sekali. Baik yang menyedot dana dari pusat maupun daerah. Dibawah teknis penanganannya PUPR Cipta Karya dan Konsultas penagawas.
Kondisi yang memburuk tidak sedikit terjadi di pemeliharaan rutin Daerah Irigasi (D.I.), Jalan Kabupaten/ kota, di Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, (Provinsi Jambi) Rejang Lebong, dan Lebong, (Bengkulu).
Untuk kedepannya, Bupati, Walikota, Gubernur/ kepala daerah dan DPRD masing-masing daerah, sudah harus meningkatkan sistem pengawasan secara benar sesuai bidang masing-masing.
Dan khusus Dewan, sudah seharusnya melakukan pengawasan secara rutin dan tidak harus hanya menunggu reses. Karena dewan digaji dari uang rakyat, sama dengan pengawas internal di masing-masing dinas instansi pemerintah.
Dan khusus Kabupaten Kerinci, Jambi sudah tujuh kali berturut-turut mendapat penghargaan WTP (Wajar Tanpa Pengeculian), berarti di nilai baik oleh BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan), melalui Perwakilan Provinsi Jambi, tapi kenyataan dilapangan secara fisik bertolak belakang. Kini Kerinci akan WTP ke delapan kalinya?.
Kondisi terparah lima belas tahun terakhir, 2004 – 2009-2009-2014-2014-2019, kini baru berjalan dua tahun bagi bupati, walikota, dan gubernur/ kepala daerah yang menang di Pilkada 2018 silam.
Dan Bupati/ kepala daerah terpilih 2020, baru berjalan tujuh bulan. Solusinya, pengawasan harus ditingkatkan, baik internal dinas pengelola kegiatan fisik dan keuangan. Maupun Pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan tugas Pemerintahan oleh kepala daerah terlantik, dalam melaksanakan peningkatan pembangunan untuk rakyat.
Yang mampu memberikan azas manfaat, sebagai tujuan akhir pembangunan. Tidak sebatas selesainya kegiatan fisik dilapangan. Karena “mafia pembangunan berjalan terus, tanpa mengenal batas” (***).
Penulis Ketua DPD-Komite Wartawan Reformasi Indonesia Prov. Bengkulu, Pemimpin redaksi Beo.co.id & Gegeronline, tinggal di Bengkulu.