(Laporan: Ragandi Brusli Jurnalis Beo.co.id).
KERINCI, BEO.CO.ID – Masjid Baitul Ikhlas Desa Sungai Batu Gantih, Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi, berdiri sebelum Indonesia Merdeka, seiring masuknya Islam ke Dusun Sungai Batu Gantih diperkirakan tahun 1935, waktu itu belum berbentuk Masjid, hanya ada surau kecil tempat berkumpulnya para pemeluk Islam, berjamaah bersama Sholat Lima Waktu, melakukan pengajian Alqur’an dan Pengajian Tarekat serta pengajian lainnya berkaitan dengan ajaran Islam, berjalan kompak, tanpa perbedaan.
Hal itu dijelaskan Abu Khosim, 85 tahun Guru dan Imam di Sungai Batu Gantih saat ini, beliau adalah salah satu generasi penerus bersama sejumlah tokoh dan Generasi lainnya sampai sekarang.
Menurut Abu Khosim, catatan rinci hitam diatas putih tentang masuknya Islam ke Dusun Sungai Batu Gantih, memang belum ditemukan. Tapi berdasarkan Kepercayaan penganut Islam dari generasi pertama Dusun Sungai Batu Gantih kegenerasi berikutnya diperkirakan sekitar tahun 1935 dari Siulak Mukai dan Siulak Panjang.
Dan sebelumnya masyarakat yang datang ke Dusun Sungai Batu Gantih membuka hutan menjadi Ladang (kebun), dari berbagai daerah (dusun), diduga menganut Animime, Percaya pada roh-roh kaum leluhurnya.
Setelah masuknya Islam, kepercayaan masyarakatnya mulai berubah, belajar Islam yang dibawa dari Siulak dan Kerinci Hilir, mereka berkumpul di Surau Kecil, yang saat itu belum ada namanya. Yang jelas Surau itu, tempat berjamaah bersama melakukan Sholat, Pengajian tentang Islam dan belajar membaca Alqur’an, sebagai pedoman hidup dan kepercayaan, dengan berangsur-angsur kepercayaan terhadap roh-roh (Animisme), ditinggalkan.
Perjalanan panjang para penganut Islam, di Desa Sungai Batu Gantih (Sekarang), dulu bernama Dusun Sungai Batu Gantih, Kerinci Mudik (Hulu), berkembang pesat sampai Indonesia Merdeka.
Dan generasinya banyak mendatangkan guru dari luar dan belajar Islam keluar, sehingga Islam berkembang pesat hingga sekarang.
Berdasarkan keterangan Abu Khosim (Pak/Ayah- Saraudin), Pak Suwardiman, Pak Jar dan generasi berikutnya, Idrus Depati Intan, dan sejumlah keterangan dari masyarakat setempat, seiring perjalan waktu dan perkembangan Pembangunan setelah Indonesia Merdeka, diperkirakan tahun 1970-an didirikan Masjid Pertama, atas kesepakatan masyararakat para Depati Ninik Mamak, Tokoh Agama, Adat, Alim Ulama, Pemuda dan Para Cerdik Pandai.
Dengan kesepakatan membangun Masjid yang mereka beri nama ‘’BAITUL IKHLAS’’ dengan dana bantuan/ gotongroyong secara IKHLAS, Shodakkah untuk kebaikan dan memajukan pembangunan Masjid AL-IKHLAS, semuanya berjalan dengan baik, aman dan lancar.
Tonggak sejarah berdirinya Masjid Baitul Ikhlas, disepakat empat (4) Depati, Yaitu: Depati Mangku Cayo dari Ladeh (Kerinci Tengah), Depati Intan dari Siulak Mukai, Depati Mangku Bumi dari Siulak Panjang dan Depati Rajo Simpan Bumi dari Siulak Gedang.
Masjid Baitul Ikhlas dibangun tahun 1970-an sampai 1990, semuanya berjalan dengan baik, Kompak, Damai, bergerak maju, masyarakatnya kompak, (bahu membahu) membangun negeri dan belajar dan mengembangkan ajaran Islam dari generasi kegenarasi penerus berikutnya.
Pembangunan yang berjalan cukup baik itu, dibawah kendali empat kelompok besar, ‘’Depati Mangku Cayo dari Ladeh, Depati Intan dari Siulak Mukai, Depati Mangku Bumi Siulak Panjang dan Depati Rajo Simpan Bumi dari Siulak Gedang’’
Entah inisiatif apa….H. Noermis Abdul Hamid Gelar Depati Intan, merubah nama Masjid BAITUL IKHLAS menjadi BAITUL AMIN (Sekarang). Akibat perubahan nama dilakukan, ‘’Noermis Abdul Hamid’’ dinilai mengubah kesepakatan yang dilakukan dengan kompak oleh empat depati.
H. Noermis, mengubah nama Masjid Baitul Ikhlas, menjadi Baitul Amin, menimbulkan perpecahan dan silang sengketa pendapat ditengah masyarakat Sungai Batu Gantih.
Silang sengketa pendapat tak terbendung, ‘’Depati Mangku Cayo dan keturunannya mendirikan
Surau di Rt 1 Sungai Batu Gantih, kini bernama Sungai Batu Gantih Hilir, Yang mereka beri nama ‘’Surau Hijau Jamiatul Islamiyah…sampai sekarang.
Depati Mangku Bumi, mendirikan Surau yaitu: Yang ada ditepian Batu Ombak, Surau Tarekat-Tarekat Naqsyabandiyah, yang berdiri di Depan Rumah ‘’PAK SANA’’ DUSUN LEMBAH KARYA, sekarang.
Depati Rajo Simpan Bumi dari Siulak Gedang dan keturunannya di DUSUN BARU mendirikan Masjid Pula RT 4 (Empat), Dusun Baru sekarang.
Depati Intan, dan keturunannya dari Siulak Mukai mendirikan Surau, Ditepian SURAU RT 1, sehingga tinggallah Masjid Baitul Amin, yang sampai sekarang hanya Cuma dikuasi TAREKAT MUSYAIFIN, yaitu ‘’Pak Yos dan Pak Sutan Baro, Cs’’ denganQarimnya dipercayakan pada, ‘’Pak Pala-Anjar’’ jamaahnya terpecah.
Akibat perubahan nama Masjid dari Baitul Ikhlas, ke Baitul Amin, yang dirubah oleh H. Noermis Abdul Hamid, menimbulkan banyak dampak, antara lain runtuhnya kekompakan yang dibangun oleh empat (4) depati diatas.
Dampaknya tidak saja berpisahnya tempat berjamaah dari masing-masing kelompok, juga berdampak pada perilaku melaksanakan Adat. Duluny, ‘’Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing’’ kini berjalan masing-masing.
Yang terjadi sekarang, ‘’menempuh jalan masing-masing’’
Budaya Islam yang kompak, diringi Adat Istidat yang kokoh, berubah dengan cara masing-masing. Masjid yang tadinya berpegang pada Adat dan Istiadat Budaya Islam, misalnya ‘’Azan Jum’at dua (2) kali.
Sholat Hadih, Talkin Mayat. Tarawih 23 Rakaat dulu. Bersalaman Shalawatan yang kompak dulunya erat Shilaturrohmi.
Kajian Adat, ‘’Besendikan Syarak, Syarak Bensendi Kitabullah, berhasil menyatukan masyarakat Sungai Batu Gantih yang Religius, (Taat pada Agama), ber-iman berakhlak dan Berbudhi Luhur (baik).
Anehnya, sekarang terjadi saling tidak percaya satu sma lainnya, ‘’terkesan kurang bermoral, dikhawatirkan saling mengkafirkan satu dengan lainnya’’ inikan bentuk-bentuk perpecahan yang sangat tidak baik, kata Abu Khosim dan sejumlah Agama kepada Ragandi, dari BEO.co.id.
Masyarakat, seharusnya di Masjid berpegang pada Ilmu Fiqih dengan empat ( 4 ) Mazhab, ‘’Yaitu Imam Syaafii, Hanaafi, Maliki, Hambali’’
Yang jadi masalah kini menjadi sewenang-wenang, walaupun mengklaim diri sebagai ‘’Masjid Umum, tapi dalam pelaksanaannya tidak membangun kebersamaan, hanya dikuasi kelompok tertentu. Ini penyebab timbulnya beda pendapat dan perpecahan, kata Abu Khosim dan kawan-kawannya.
Terbukti dari Zikir sehabis Sholat, kadang bersuara Jahar bawa Wirid Sholat lima (5) waktu, seharusnya dibaca lengkap, seperti Kitab Nagdatul Ulama Yaitu: IMAM SYAAFII, yang jahar panjang urutannya,…sekarang sering tidak dibawa dulu Azan Shubuh.
Azan Jum,at dua kali (2X) menjadi satu kali tidak mengikuti Fiqih yang jelas? Yang tadinya ada Shalawat kebersamaan menjadi dipertentangkan, jangan sampai saling ‘’mengkafirkan’’
Kita perlu mencontoh Wali Songo itu, meng-Islamkan Adat Istiadat Nusantara, dan semua Ormas NU dan Muhammadiyah, mengakui itu. Tidak saling mengkafirkan sesame Islam, apa lagi merasa hebat sendiri, jelas para tokoh Agama di Sungai Batu Gantih, (Pak Abu Khosim, Pak Jar, Pak Suwardiman dan Idrus Depati Intan).
Di Desa Sugai Batu Gantih saat ini, tidak ada Orman NU dan Ormas Muhammadiyah. Malah menjadi milik Tarekat tertentu, oleh penganutnya mereka sebut Tarekat Musyaifin atau Tarekat Merah, yang dibawa oleh kelompok tertentu dan menguasai kelompok dalam Masjid.
Padahal Masjid Baitul Ikhlas, dibangun dalam waktu yang panjang dengan kesepakatan dan kerja semua pihak, bukan kelompok tertentu. Dan dibangun dibawah kendali empat (4) Depti, seharus menjadi hak bersama dan kesepakatan memajukan pendidikan dan Ajaran Islam yang baik dan benar.
Dari perjalanan yang panjang, sejak masuknya Islam ke Sungai Batu Gantih (Dusun) Sungai Batu Gantih, diperkirakan 1935, berdirinya ‘’Surau’’ kecil untuk berkumpul, belajar memahami Islam dan belajar Membaca Alqur’an dan Kajian Tarekat, berpuluh-puluh tahun lamanya tidak ada perpecahan, namun sejak nama ‘’Baitul Ikhlas di ubah menjadi Baitul Amin’’ berbagai perbedaan tajam muncul, sulit dicarikan jalan keluarnya (solusi), maka kita harus kembali pada fitrah perjuangan para pendahulu, ‘’berjuang, berfikir dan bekerja ikhlas, untuk kebaikan bersama, dan meneruskan perjuangan Islam Rachmatall Lilalaamin, (Rachmat untuk semuanya), bukan kelompok.
Gafar Uyub Depati Intan, salah satu putra Sungai Batu Gantih, akhirnya buka suara dan menanggapi kisruh yang sudah lama terjadi di Desa Sungai Batu Gantih, dan saya ketahui sejak saya di SLTP 1975, silam.
Dan kisruh itu kian meruncing. Dan saya tidak memahami aliran-aliran itu, dan belum mendalami Islam secara mendalam, saya terpanggil untuk menengahi masalah ini.
Pertama saya menghimbau semua pihak, untuk kembali bersatu padu memperjuangkan perjalanan Islam dan kekompakan masyarakat Adat, Sungai Batu Gantih, kembali pada perjuangan 4 (Empat) Depati, yang mendirikan dan menggali ajaran Islam di Sungai Batu Gantih yang mendirikan Masjid BAITUL IKHLAS.
Kedua demi persatuan dan kesatuan masyarakat Adat, Agama, dan masyarakat dengan mengedepankan ‘’musyawarah, mufakat’’ melibatkan semua pihak (unsur), kita kembalikan nama MASJID BAITUL IKHLAS, dengan asas dan roh perjuangannya membangun ‘’IMAN DAN TAQWA’’ DAN MENJUJUNG TINGGI KESATUAN DAN PERSATUAN, DAN KEDEPANNYA BERSAMA-SAMA MEMANFAATKAN MASJID BAITUL IKHLAS UNTUK KEBAIKAN MENGEMBANGKAN AJARAN ISLAM DAN MENDIDIK GENERASI MUDA KITA KEDEPAN BERTAQWA DAN BERIMAN, DAN MASJID TIDAK DIKUASAI KELOMPOK TERTENTU’’
Tiga, mulai saat ini, 17 Romadhan 1444 Hijriyah, 17 April 2023, mari kita gunakan rumah Ibadah Masjid BAITUL IKHLAS, tempat berjemaah bersama sebagai pemeluk Islam, dan menghentikan pertengkaran, apa lagi saling mengkafirkan. Kita kembali pada perjuangan empat ( 4 ) Depati para pendiri Masjid BAITUL IKHLAS, hentikan pertentangan sesame umat, kita bersatu dalam kalimah ‘’Laillah Haillah Muhammadan Rasulullah’’ sebagai umat Islam yang beriman.
Empat, mari kita kuatkan pengajian Adat Kerinci secara benar, ‘’Adat bersandi Syarak, Syarak Bersandar Kitabullah” karena Kebenaran itu, tidak selalu ada pada pemenangnya, melainkan ada ditangan Pejuang yang jujur.’’ (BEO.co.id/ ***/ rb/ Sbong Keme).