(Catatan yang terabaikan, Gafar Uyub Depati Intan)
Dapur Oposisi, yang memuat seputar masalah Wartawan yang melakukan kegiatan Jurnalistik tapi tidak menulis berita, mendapat tanggapan/ komentar dari Kusri Irianto, mantan Juru Penerangan (Jupen) terbaik era Orde Baru (Orba), Ia kini pensiunan ASN (Aparatur Sipil Negara) Pemda Rejang Lebong, Prov. Bengkulu dan active sebagai pengamat dunia social dan pers.
Menurut keterangan Kusri, yang disampaikan keredaksi Beo.co.id [10:49, 2/10/2021] om polis: Wartawan yang melakukan kegiatan jurnalistik, tetapi tidak menulis berita atau tidak dikirim/dimuat di salah satu media massa. Berarti telah melanggar UU Pers No. 40/1999, Pasal 3 Ayat 1 (Pers berfungsi memberi informasi) dan Pasal 4 Ayat 3 (untuk jamin kemerdekaan pers.
Pers mempunyai hak mencari, memperoleh, menyebarkan gagasan dan informasi). Karena haknya untuk mengetahui (Pasal 6 tentang peran pers nasional), antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui).
Maka sebenarnya wartawan tersebut, juga telah melanggar dan bisa kena ancaman penjara maksimal 2 tahun penjara atau denda maksimal Rp. 500 juta. Tulis Kusri, dikutip kembali.
Dunia Wartwan kian menarik untuk disimak dan diikuti perkembangannya, bayangkan jika Indonesia tanpa Wartawan bisa jadi informasi semakin gelap, dan menguatnya dictator kejahatan ditengah masyarakat, tanpa ada pihak yang berani mengabarkan secara resmi, seperti dilakukan lembaga Pers/ para Jurnalist selama ini.
Keberadaan Pers, karena peran dan fungsinya di Indonesia yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 25 dan 28 hurup (f) dan ditindaklanjuti dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia (etika/ pedoman) dalam mencari, memperoleh dan menulis berita.
Masyarakat Pers, Wartawan (para Jurnalist) diberikan hak kebebasan yang luar biasa, untuk menyampaikan pendapat didepan umum secara lisan dan tertulis, secara jujur, berimbang dan tidak menjastis (menghukum) pihak-pihak yang diduga terkait dalam suatu masalah (peristiwa), karena Ia bukan Hakim (lembaga peradilan), disinilah Wartawan dituntut bertugas secara jujur, independen dan professional.
Wartawan saat Ia menulis berita harus mengedepankan kejujurannya berdasarkan data-data yang diperoleh dari lapangan, baik tertulis, lisan (hasil wawancara) dengan pihak-pihak terkait atau yang diminta penjelasannya dalam suatu peristiwa. Ia, hanya mengedepankan fakta informasi kata pendapat Amir Syarif, 68 tahun salah seorang Wartawan senior di Bengkulu, dikutip kembali.
Untuk menentukan fakta Hukum ada Polri, Kejaksaan dan Hakim. Untuk mendapatkan rasa keadilan yang seadil-adilnya ditengah masyarakat itu adalah wewenang/ tugas majelis Hakim yang mulia, jika sebuah masalah/ kasus dianggap memenuhi unsur (fakta) pendukung yang sah adanya saksi dan barang bukti yang sah dan legal secara Hukum.
Dan bukan diada-adakan oleh oknum tertentu dengan tujuan tertentu pula. Disini peran Pers dan Wartawan, dalam mencari, mengembangkan informasi, dari mulai mencari, menulis dan menyampaikan berita pada public harus berdasarkan kejujuran, berani dan rasa tanggungjawabnya terhadap kepentingan umum.
Objek dan Subjek berita, tetap mengedepankan asaspraduga tak bersalah, tidak boleh menjastis (menghukum), karena bukan tugas dan kewajibannya, (Ia, bukan Hakim, Polisi dan Jaksa). Namun, karena peran dan fungsinya berdasarkan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, maka Wartawan diwajibkan menyampaikan informasi (fakta informasi), apa adanya, tidak kebohongan (hoax).
Dan memberikan hak kepada semua pihak secara setara, “hak bantah, sanggah, jawan dan hak memberikan keterangan seluas-luasnya” dan terbangunnya secara objektif bagi semua pihak untuk memberikan penjelasan. Merdeka, bebas dan demokratis serta tidak sama sekali diintervensi dari pihak mana pun. (***) bersambung…………………