JAKARTA, BEO.CO.ID – Lembaga peradilan diujung tanduk, pasalnya baru – baru ini ada 2 hakim agung menjadi tersangka KPK, yaitu Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Akibat peristiwa tersebut, sejumlah pakar hukum mendesak presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reformasi hukum secara total.
“Presiden harus mempunyai perhatian khusus di bidang hukum. Ini harus seimbang antara politik dan ekonomi. Tetapi hukum harus diperhatikan, terutama di kala sekarang ini kepercayaan publik sudah dapat dipastikan berkurang,” kata mantan hakim agung Gayus Lumbuun kepada wartawan, Minggu (20/11/2022) dilansir dari laman news.detik.com.
Bahkan Gayus menilai, penangkapan hakim agung salah satu bukti bahwa budaya hukum serta moral penengak hukum di indonesia semakin memburuk. Tinggal Gazalba Saleh menunggu pengumuman statusnya dari KPK, dilakukan penahanan atau tidak.
“Saya mengusulkan sudah lama sekali, untuk adanya perbaikan peradilan ini. (Akan tetapi) tidak bisa kita mengisi air kotor ini dengan air bersih. Buang dulu air kotornya,” kata Gayus Lumbuun.
Secara tegas dia mengatakan upaya melakukan perombakan di tubuh Mahkamah Agung (MA) sebagai landasan peradilan kasasi dan tempat final yang mengadili sengketa. Menurutnya dalam pembenahan hukum ditanah air terkesan masih setengah hati. Bahkan dirinya mendorong reformasi birokrasi lembaga peradilan dalam pembenahan secara totalitas.
“Saya usul agar ada evaluasi total, yang bagus dipertahankan, yang jelek diganti. Ketuanya dari tingkat Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi dan termasuk MA. Ada 10 pimpinan MA, harus dievaluasi. Yang bagus dipertahankan, yang jelek dievaluasi. Nanti Indonesia punya wajah baru,” tegas Gayus Lumbuun.
Sementara itu, Dewan Pembina Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Prof Faisal Santiago mengeluar pendapatnya, bahwa lembaga peradilan tersebut dirusak oleh pengajanya. Bahkan dia mengatakan reformasi di MA itu tidak dapat ditawar-tawar lagi.
“Saya tidak menyalahkan hakim, tetapi bagaimana proses rekrutmen nya itu. Harus kita ubah dan pertanggungjawabannya harus ditetapkan,” kata Prof Faisal Santiago.
Tak ingin kehilangan kesempatan, pakar hukum tata negara Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta, Muchtar Herman Putra, menyebut reformasi hukum tidak bisa ditawar dan secara dilakukan secepatnya.
“Ini saatnya sudah gawat darurat. Saya pakai istilahnya IGD, instalasi gawat darurat. Ini darurat peradaban hukum. Artinya, ini sudah gawat,” kata Muchtar Herman Putra. (SB/**)