Dari judul Naskah ini, penulis yakin dan percaya para pendukung Israel dengan kekejaman Yahudi sedunia tidak suka dengan judul tulisan yang satu ini. Penulis sebagai seorang warga Negara Indonesia, asal Kerinci, Propinsi Jambi menjadi wajib mengatakan dan menulis secara terbuka, “suka tidak suka” bagi pembaca yang budiman, saya menuliskan PALESTINA WAJIB MERDEKA DITANAHNYA SENDIRI.
Tanpa Kemerdekaan tidak akan pernah lahir perdamaian dan hidup berdampingan, “merdeka bagi Palestina” solusi terbaik untuk perdamaian.
Sudah tercatat dalam lembaran hitam sejarah dunia kebiadaban Yahudi Israel melakukan pembunuhan terhadap bangsa dan rakyat Palestina, selama 7 dekade (tujuh puluh tahun), Nyawa manusia Palestina sama dengan nyawa kita semua diseluruh dunia, ciptaan dari Tuhan Allah SWT, yang maha segalanya.
Dicabut secara paksa oleh para tentara Israel dan Zionisnya dengan persenjataan ringan, berat, dan roket-roket canggihnya, dan meluluh lantakan Jalur Gaza, dan Tepi Barat Palestina serta kantong-kantong/ tempat tinggal rakyat Palestina, hanya untuk memperluas wilayah kaum Yaudi, Zionis dan Negara Israel.
Perlawanan Rakyat Palestina, selama berpuluh-puluh tahun baik melalui diplomat, perundingan dan melibatkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) serta perlawanan kesil dengan batu oleh anak-anak Palestina diabaikan Isreal.
Israel sudah dipimpin sedikitnya 14 orang Perdana Menteri, tidak satu yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat Israel, dari hari kehari sejak Israel memproklamasikan Negara Israel 1948,selama puluh-puluhan tahun dalam tujuh decade nyawa rakyat Israel telah puluhan ribu dicabut paksa dengan ditembak oleh tentara Israel. Bahkan umat Islam yang tengah menunaikan ibadah di Masjid Al Aqsa ditembaki tentera Israel, korban berjatuhan sampai saat ini.
Jika dulu perlawanan yang dilakukan hanya batas aksi demo (anti kekerasan) dan anti Israel, dan perang batu ternyata sama sekali dibaikan Israel penganiayaan, penahanan terhadap rakyat Israel tanpa batas berlanjut, jika ada korban dipihak Israel hanya puluhan orang.
Sakit (kepedihan) yang luar biasa diderita rakyat Palestina, dibunuh, dianiaya, diperkosa dan ditahan terus berlanjut. Tak heran perlawanan sengit dilakukan rakyat Palestina melalui para pejuang, Hamas, kelompok dan faksi-faksi di Palestina menyadari sepenuhnya Israel harus dilawan dengan persenjataan yang kuat dan canggih, masyarakatnya harus bersatu melawan Israel dan Zionis-zionisnya.
Tepatnya Sabtu, 07 Oktober 2023, Hamas dengan kompak dan menggunakan teknologi canggihnya buatan sendiri dan bantuan lainya menyerang Israel, dengan meluncurkan ribuan roket ke Israel dan Tel-Aviv, menelan korban jiwa 900 orang mati, sekitar 200 orang warga Israel termasuk tenteranya disandra, Hamas.
Pasukan Hamas, berhasil menembus tembok Israel, yang terkenal kokoh dan memiliki Intelijen nomor satu didunia, berhasil diporak-porandakan Hamas, serangan Hamas kali ini, juga menelan korban masyarakat sipil yang tak bersalah.
Kehebatan Hamas, dengan dukungan Hizbullah juga memborbardir wilayah Tel Aviv dan Bandara Internasional Israel, Aljazeera TV , dan dari berbagai sumber Press dalam dan luar negeri.
8 Oktober 2023 Benjamin Netanyahu, menyatakan Negara Israel dalam keadaan perang dan melakukan balasan mengbombardir jalur Caza dan Tepi Barat, berlangsung terus sampai hari ini sebagaimana disiarkan Pers dalam dan luar negeri, dan korban Sipil berjatuhan kedua belah pihak.
Khusus Jalur Gaza, kota-kota dijalur Gaza telah diluluh lantakan tentara Zionis Israel, menelan korban lebih 5000 orang warga Palestina yang tidak berdosa. Jika Israel terus melanjut pengeboman diseluruh titik yang dianggap Israel rawan di Palestina, jumlah korban bagi orang tak berdosa akan terus berjatuhan.
Dan perang panjang akan berlanjut, Hamas dengan sekutunya Hizbullah dan Negara Arab lainnya, mau tidak mau akan bersatu menghancurkan Israel.
Asap mengepul selama serangan udara Israel di Kota Gaza pada 12 Oktober 2023 saat pertempuran sengit antara Israel dan gerakan Hamas berlanjut selama enam hari berturut-turut. (Foto: AFP)
Bagaimana Hamas Membangun ‘Pasukan Mini’ Melawan Israel ?
Pasukan Israel yang bersiap untuk menginvasi Gaza dalam misi menghancurkan Hamas, akan menghadapi lawan yang semakin kuat.
Kelompok militan Palestina itu semakin cakap karena selama bertahun-tahun dilatih oleh jaringan pendukung bawah tanah yang mencakup Iran dan kelompok sekutu Arab di luar wilayah kecil tersebut.
Serangan mematikan Hamas di selatan Israel pada enam hari yang lalu merupakan bukti berkembangnya keahlian militer mereka sejak mengambil alih Gaza pada 2007. Serangan pekan lalu cukup mencengangkan, belum pernah terjadi sebelumnya terkait perencanaan dan skala oleh Hamas.
“Kebutuhan adalah sumber dari penemuan,” kata Ali Baraka, seorang pejabat senior Hamas. Ia menambahkan bahwa kelompok tersebut telah lama memanfaatkan aliran dana dan pelatihan dari Iran dan proksi regional Iran seperti Hizbullah Lebanon, sambil memperkuat pasukannya sendiri di Gaza.
Kesulitan dalam mengimpor senjata berarti bahwa selama sembilan tahun terakhir “kami mengembangkan kemampuan kami dan mampu memproduksinya secara lokal,” kata Baraka, yang berbasis di Lebanon.
Dalam perang Gaza yang meletus pada 2008, roket Hamas memiliki jangkauan maksimum 40 km. Daya jangkauan roket tersebut meningkat menjadi 230 km pada konflik 2021, tambahnya.
Pada saat ini organisasi yang bersifat rahasia dan kuat itu sangat berbeda dibandingkan dengan kelompok kecil Palestina pada 36 tahun yang silam.
Saat itu kelompok itu hanya sanggup mengeluarkan selebaran pertamanya sebagai protes atas pendudukan Israel.
Kesimpulan itu diambil berdasarkan wawancara Reuters dengan 11 orang yang mengetahui kemampuan kelompok tersebut, termasuk anggota Hamas, pejabat keamanan regional, dan ahli militer.
“Mereka adalah pasukan mini,” kata seorang sumber yang dekat dengan Hamas di Jalur Gaza, yang menolak disebutkan namanya karena masalah itu sensitif.
Dia mengatakan kelompok tersebut memiliki akademi militer yang melatih berbagai spesialisasi termasuk keamanan siber, dan membanggakan unit komando angkatan laut di antara sayap militernya yang berkekuatan 40.000 orang.
Sebaliknya, pada era 1990an Hamas hanya memiliki kurang dari 10.000 anggota, menurut situs globalsecurity.org.
Sejak awal 2000an, kelompok tersebut membangun jaringan terowongan di bawah Gaza untuk membantu pasukannya melarikan diri, mendirikan pabrik senjata dan mendatangkan senjata dari luar negeri, menurut sumber keamanan regional, yang juga menolak diungkapp identitasnya.
Kelompok tersebut memperoleh pasokan bom, mortir, roket, rudal anti-tank dan anti-pesawat, kata para pejabat Hamas.
Peningkatan kemampuan ini membuahkan hasil yang semakin mematikan selama bertahun-tahun.
Israel kehilangan sembilan tentara pada serangan 2008. Pada 2014, jumlahnya melonjak menjadi 66 orang.
HA. Hellyer, rekan senior di Royal United Services Institute Inggris, mengatakan Israel mampu menghancurkan Hamas dalam serangan yang diperkirakan akan terjadi di daerah kantong padat penduduk tersebut.
“Pertanyaannya bukan apakah hal itu mungkin atau tidak. Pertanyaannya adalah bagaimana dampak terhadap seluruh populasi, karena Hamas tidak tinggal di sebuah pulau di lautan atau di sebuah gua di padang pasir,” katanya.
Mohammed Deif, Otak Di Balik Serangan Dahsyat Hamas ke Israel
Setelah perang Gaza Meletus pada 2021, Hamas dan kelompok terafiliasi yang disebut Jihad Islam Palestina berhasil mempertahankan sekitar 40 persen dari persediaan misil mereka, yang merupakan target utama bagi pihak Israel, menurut Jewish Institute for National Security of America, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
Mereka berhasil menyimpan sekitar 11.750 misil dibandingkan dengan 23.000 sebelum konflik tersebut pecah.
Pertahanan yang Luar Biasa Hamas, yang piagam pendiriannya pada 1988 menyerukan dihancurkannya Israel, disebut sebagai organisasi teroris oleh Israel, AS, Uni Eropa, Kanada, Mesir dan Jepang.
Bagi Iran, kehadiran Hamas justru membantu mereka dalam mewujudkan ambisi selama bertahun-tahun untuk mengepung Israel dengan legiun paramiliter, termasuk faksi Palestina lainnya dan Hezbollah Lebanon, menurut pejabat Barat.
Dengan persenjataan canggih, mereka memiliki permusuhan jangka panjang terhadap pendudukan Israel di tanah Palestina.
Para pemimpin kelompok ini tersebar di negara-negara Timur Tengah termasuk Lebanon dan Qatar.
Namun basis kekuatannya tetap di Gaza. Mereka mendesak warga Gaza untuk tidak mengindahkan seruan Israel untuk meninggalkan tanah air mereka menjelang gempuran invasi darat yang diperkirakan akan terjadi, menyusul pengeboman Israel selama berhari-hari yang merenggut sekitar 1.800 nyawa.
Dalam serangan mendadak pada 7 Oktober, yang merupakan pembobolan pertahanan Israel yang terburuk dalam 50 tahun terakhir, Hamas menembakkan lebih dari 2.500 roket.
Pada saat bersamaan para anggotanya merangsek ke wilayah Israel dengan menggunakan paralayang, sepeda motor, dan kendaraan roda empat.
Mereka membobol pertahanan Israel dan menghancurkan kota-kota dan wilayah pemukiman. Serangan itu menewaskan 1.300 orang dan menyandera puluhan orang.
Sumber yang dihubungi Reuters mengatakan bahwa meskipun Iran melatih, mempersenjatai, dan mendanai kelompok tersebut, tidak ada indikasi bahwa Teheran mengarahkan atau mengizinkan serangan tersebut.
“Keputusan, saat-saat kritis, semuanya berada di tangan Hamas – tetapi tentu saja kerja sama, pelatihan, dan persiapan semuanya berasal dari Iran,” kata sumber keamanan regional tersebut.
Teheran mengakui pihaknya membantu mendanai dan melatih Hamas. Namun, membantah terlibat dalam serangan tersebut, meski memuji serangan itu.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan televisi Al Jazeera pada tahun lalu bahwa kelompoknya menerima sokongan di bidang militer sebesar $70 juta dari Iran. “Kami punya roket yang diproduksi di dalam negeri, tapi roket jarak jauhnya datang dari luar negeri, dari Iran, Suriah, dan lainnya melalui Mesir,” tambahnya.
Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS pada 2020, Iran menyokong dana sekitar 100 juta dollar AS atau sekitar 1,57 triliun rupiah per-tahun kepada kelompok-kelompok Palestina, termasuk Hamas, Jihad Islam Palestina, dan Front Populer untuk Komando Umum Pembebasan Palestina.
Sumber keamanan Israel mengatakan bahwa aliran dana Iran untuk sayap militer Hamas semakin deras, dari 100 juta dollar AS menjadi sekitar 350 juta dollar AS atau setara 5,5 triliun rupiah per tahun sejak tahun lalu.
Pendiri Hamas Syeikh Yassin
Gagasan berdirinya organisasi Hamas – yang berarti semangat dalam bahasa Arab – mulai terbentuk pada 10 Desember 1987.
Saat itu beberapa anggota Ikhwanul Muslimin berkumpul sehari setelah insiden sebuah truk tentara Israel menabrak sebuah mobil yang membawa empat pekerja harian Palestina dan menewaskan semuanya.
Aksi tersebut memicu protes, termasuk di antaranya pelemparan batu, pemogokan, dan penutupan di Gaza.
Bertemu di rumah Syekh Ahmed Yassin, seorang ulama Muslim, mereka memutuskan untuk mengeluarkan selebaran pada 14 Desember yang menyerukan perlawanan ketika Intifada Pertama, atau pemberontakan, melawan Israel meletus.
Seruan tersebut adalah aksi publik pertama grup tersebut.
Setelah Israel menarik diri dari Gaza pada 2005, Hamas mulai mengimpor roket, bahan peledak dan peralatan lainnya dari Iran, kata sumber intelijen Barat.
Peralatan militer tersebut dikirim melalui Sudan, diangkut dengan truk melintasi Mesir dan diselundupkan ke Gaza melalui labirin terowongan sempit di bawah Semenanjung Sinai, tambah mereka.
Aliran senjata, pelatihan dan dana juga mengalir dari Iran ke sekutu paramiliter regional lainnya, yang pada akhirnya memberikan pengaruh besar bagi Teheran di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman dan Gaza.
Beberapa dari sekutu tersebut merupakan bagian dari “poros Syiah” yang terbentang dari paramiliter Syiah di Irak, Hizbullah di Lebanon, hingga kelompok minoritas Alawi yang berkuasa di Suriah, sebuah cabang dari Islam Syiah.
Organisasi yang berada di puncak jaringan milisi Iran adalah Hizbullah – yang didirikan di Kedutaan Besar Iran di Damaskus, Suriah, pada 1982 setelah Israel menginvasi Lebanon selama perang saudara pada 1975-1990.
Hizbullah mengebom sasaran-sasaran AS dan melakukan penyanderaan dan pembajakan, mengusir Israel dari Lebanon pada 2000 dan kemudian secara bertahap menguasai negara Lebanon.
Iran memanfaatkan kesempatan untuk membujuk Hamas pada 1992 ketika Israel mendeportasi sekitar 400 pemimpin Hamas ke Lebanon, kata sumber yang dekat dengan Hamas.
Iran dan Hizbullah menjamu para anggota Hamas, berbagi teknologi militer dan melatih mereka membuat bom rakitan untuk serangan bunuh diri, tambah sumber tersebut.
Baraka, pejabat Hamas, mengatakan tujuan akhir serangan 7 Oktober terhadap Israel adalah untuk membebaskan 5.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
Mereka juga berhadap aksinya dapat menghentikan serangan Israel terhadap Masjid Al Aqsa, situs tersuci ketiga dalam Islam, dan mencabut blokade Gaza yang telah berlangsung selama 16 tahun.
Dia memperingatkan bahwa jika serangan darat Israel terus dilakukan, yang didukung oleh AS dan Inggris, perang tidak akan terbatas pada wilayah Gaza saja, tetapi juga berpotensi meluas menjadi konflik regional.
“Bukan hanya perang Israel di Gaza, ada perang Atlantik di Gaza dengan segala kekuatan,” ujarnya. “Akan ada garis depan baru,” katanya. [ah/ft] dikutif dari sumber, 14/10/2023. (***).