Oleh: Ozzy S. Sudiro
Ia seorang filosof. Ia guru besar filsafat. Kepadanya berguru Plato. Namanya Socrates.
Bukan hanya soal relasi guru dan murid. Lebih dari itu mereka berdua adalah teman yang saling memahami dalam komunikasi.
Tanpa Plato, kepada siapa Socrates menyampaikan gagasan-gagasannya. Tanpa Plato , siapa yang dapat diajak bercanda, bergurau, curhat, diskusi, bahkan sekedar bertukar gagasan.
Tanpa Plato, siapa yang dapat mengatakan bahwa Socrates hebat. Dibutuhkan seorang yang memahami kata-katanya. Gagasan-gagasannya. Cita-Citanynya dan ide-ide briliannya agar Socrates menemukan kebahagiaannya. Tanpa Plato, Socrates tak dikenal. Tanpa Plato dia kesepian dan terasing di alam pikirannya sendiri.
Ya ada ribuan orang di kotanya. Ada ratusan orang di kampungnya. Ada puluhan teman di sekitarnya. Tapi ada hanya satu orang yang ia dapat menyampaikan gagasan dan pemikirannya, Plato.
Dengan Plato, Socrates bisa diskusi serius , bisa bercanda dan bisa saling berpura-pura sambil akhirnya mereka tertawa terbahak-bahak mentertawakan kegilaannya masing-masing.
Hei, kamu sedang cerita tentang apa sih ?
Aku sedang cerita bahwa jika kamu seorang gila seperti Socrates maka kamu harus mencetak satu orang sampai dia gila juga seperti kamu, barulah kamu punya teman di dunia ini.
Jika tidak, hidupmu hanya menemani orang-orang yang waras dan tak seorangpun menemanimu dalam kegila’anmu.
Ketika Socrates pergi kembali ke Tuhannya, bukankah Plato merasakan kesepian dalam kegilaannya ?. Plato tidak sebodoh itu. Sebagaimana gurunya, dia pun menciptakan seorang gila yang dipersiapkan jadi teman curhatannya. Ialah Aristoteles.
Mereka adalah gambaran orang-orang gila menurut kebanyakan orang, karna mungkin keterbatasan cara pandang kebanyakan orang tidak mampu menembus dan mencerna alam fikirannya.
Maka jangan Gila karna dunia, biarkan dunia Gila karna kita, dan jangan pusing karna dunia, biarkan dunia pusing karna Kita. (***)