Cerita Pendek Gafar Uyub Depati Intan
Subaidah, begitu aku akrap memanggilnya. Sebuah nama dan wajah melekat yang terukir dalam dihatiku tak dapat tergantikan, kendati ada, Subaidah-Subaidah lainnya, yang setiap saat siap berdampingan. Maafkan Ngah (Abang), jika kamu sempat terbaca sebuah pesan dari Whatsappnya. Ia, bernama, ‘’Kuntum Abadi’’ sahabat yang pernah berbagi, sepotong Goreng Ubi rambat, disaat Nasi tidak ada…?
‘’Kuntum Abadi’’, Itu sahabatku dimasa di SLTA, 40 tahun silam, Ia hanya bergurau dan mengingatkan ku, agar aku tidak lupa dalam memegang jabatan dan memelihara amanah yang diamanatkan, untuk kesejahteraan kemaslahatan orang banyak, tak lebih hanya itu.
Ngah….ngah, kalau hanya batas itu, kenapa aku harus cemburu, kini kita sudah berada di usia senja. Yang penting selamatkan janji Ngah, pada masyarkat. Bak cerita janji,..bukan cerita kosong melompong. Janji itu adalah hutang, kau bayar janjimu itu, bagiku sudah lebih dari segalanya, senyum Subaidah dengan lesung Pipitnya yang kental bergaris cekung karena dimakan usia.
Kau, bisa saja Subaidah balas Ngah. Serya bertanya, apa lagi yang kita kejar, dunia beginilah adanya. Untuk makan dan minum serta mengurus anak dan cucu sudah lebih dari cukup, pengabdian dengan merealisasikan janji pada masyarkat, bagi aku sudah lebih dari apa yang kita cari selama ini, tutur Subaidah, pada Abangnya (Ngah).
Ngah-ngah, kata Subaidah janji itu sakral dimata masyrakat, jika banyak dusta diantara kita, ‘’Ngah akan membayar lebih mahal didunia, bila bersentuhan dengan hukum, dan akan menjadi dosa diakhir hayat nanti’’ Ngah, sontak terkejut lalu bertanya, kau boleh memberi masukan untuk abangmu ini, tapi jangan menggurui, aku berfikir menyelesaikan tanggungjawabku, pada semuanya.
Tapi, beri…beri aku waktu. Kita dalam keluarga memang harus terbuka, demikian juga sebagai pemimpin ditengah masyarakat, Ngah…Ngah sadar apa yang harus kulakukan, dengan suara tinggi pada Subaidah. Dik Subaidah,…perlu tahu apa yang tengahku fikirkan, tidak semua keterbukaan itu harus kujelaskan padamu, sebagai orang yang paling dekat dan ku cintai.
Subaidah, tetap mendesak, ‘’janji-janji Ngah’’ pada masyarakat membangun kesejahteraan & berkeadilan harus diselesaikan sebelum hukum tuhan itu sampai dan terbukti, timpal Subaidah. Suara Ngah, kali ini kian meninggi, aku tahu di ‘’sungai langit sana masih ada langit yang lebih tinggi dan tak terukur tingginya, tapi dilangit mana bisa berteduh?.
Aku tidak mendua, masyarakat tetapku fikirkan, keluarga harusku jaga, kamu, anak-anak dan cucu harus dicarikan yang terbaik mulai sekarang, sergah Ngah pada Subaidah. Uniknya, Subaidah tetap tenang, Aku batas mengingatkan celoteh Subaidah.
Soalnya, pemimpin itu ada saatnya seperti ‘’gula, manis ya manis, banyak semut berkerumun makan ditempat yang manis, tapi, bolehkan aku khawatir dan mengingatkan, jika gula manisnya habis dan semutnyapun kenyang, satu persatu meninggalkan ampasnya’’ jangan sampai Ngah,…oi Ngah bak meminjam istilah, ‘’ bila harimau mati meninggalkan belangnya, manusia mati, meninggalkan jasa kebaikkannya, maka janji Ngah, segera ditepati, pinta Subaidah.
Karena kebaikan dan jasa pemimpin itu, akan dikenang sepanjang masa, tutur Subaidah. Seraya sempat terpaku sejenak, tanpa suara lalu mendekat. Ngah, pun tertegun diam, Subaidah membisikan, ‘’harta dan kekayaan tidaklah segalanya, bak cerita Sungai Langit, dibaliknya masih ada langit yang tak dapat hitung berapa tingginya’’ tutur Subaidah meyakinkan.
Ikuti ceritanya pada Cerita pendek, edisi berikutnya. (***).
Jika terdapat nama dan tempat yang sama, itu hanya kebetulan, ini adalah cerita fiksi seorang Wartawan, yang diangkat dari bagian sebuah kisah Nyata, menghibur hati menjelang tidur*
