KERINCI, BEO.CO.ID – Setiap orang bisa mengubah nasibnya dengan tekad dan usaha perjuangan. Pria bernama Suardesi menjadi salah satu bukti kerasnya hidup dijalanan. Pilihannya merantau jatuh ke Kota Kembang, Bandung, Jawa Barat meninggalkan negeri “Sekepal Tanah Surga Kerinci” kampung halaman.
Ia mengaku dulu sempat direndahkan karena datang dari latar belakang anak jalanan, bahkan tanpa sanak dan saudara belajar di negeri orang yang biasa sebut negeri Pasundan Siliwangi.
“Pertama kali saya datang ke Kota indah ini di usia yang masih belia yaitu umur 19 tahun sekitaran bulan Maret Tahun 2000 tepatnya 22 tahun yang berlalu. Ketika itu zaman krisis moneter melanda negeri ini, ekonomi orang tua saya sanga sulit, kemudian saya bertekad untuk bertarung mengadu nasib diperantauan mencari sesuap nasi demi menyambung hidup di Kota besar ini,” tulisnya melalui via Whatsapp, Sabtu (16/4/22).
Lanjut dia menceritakan, tanpa membawa bekal apa pun, nekat dan membaur dengan kehidupan jalan di terminal Leuwi Panjang Kota Bandung yang merupakan bus antara kota yang dihuni para jawara tangguh tanah Siliwangi. Ia mengatakan, selaku anak muda yang energik kala itu dia membuka kran pergaulan secara jentel dengan preman-preman terminal.
“Alhamdulillah kehadiran saya diterima sangat baik oleh teman-teman penghuni jalanan tersebut karena saya mampu beradaptasi secara cepat dengan dunia jalanan. Saya bergabung dengan rekan-rekan senasib sepenanggungan dari Kulon (Banten). Kami bergaul sangat akrab bagaikan saudara kandung saling tolong menolong disegala sektor sehingga kami bagaikan saudara yang tak bisa dipisahkan lagi,” urainya.
Bahkan dirinya sering sekali diajak teman seperjuangan ke kampung halamannya di Kulon/Banten, disini mulai karir jalanan secara spiritualan dilakoni. Hampir setiap hari menghabiskan waktu diterminal mengikuti budaya jalanan, berteman dengan debu, terik mentari, alkohol, terkadang berkelahi demi mempertahankan hidup dan sudah menjadi sarapan sehari-hari.
“Ketika itu kami tidak punya jaminan masa depan yang cerah, hanya ada dunia hitam yang gelap gulita. Meskipun karakter kami rata-rata sangar dan keras badan rata-rata dihiasi dengan tato-tatoan liar disekujur tubuh, berteman dengan penderitaan dan kemiskinan akan tetapi kami punya satu kekayaan yang tidak semua dimiliki oleh kaum konglomerat atau hartawan,” ungkapnya.
Lebih jauh dirinya mencerita perjuangan, hanya memiliki kekayaan ‘hati’ dan rasa kemanusiaan yang tinggi serta peduli sesama terutama bagi kaum tertindas. 4 tahun lamanya hidup didunia terminal, dan dia mendapatkan sepucuk surat dari ayanda (Almarhum) menyuruh pulang kampung tapi tidak dihiraukan.
“4 tahun lamanya saya menggeluti dunia terminal kemudian saya mendapat surat dari ayah saya (Almarhum) supaya saya pulang ke kampung halaman akan tetapi tidak saya tanggapi, karena sebagai anak rantau saya merasa malu pulang tanpa keberhasilan, apa pun yang ada sepanjang badan saya hanya berhiaskan dengan tato,” ceritanya. Bersambung…(M. Marhen)