spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Melawan Penjajah Dalam Diri ?

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Ilustrasi/Net

Penjajahan secara fisik, mental dan ekonomi, sudah berlangsung cukup lama dan panjang dibumi yang kita cintai dan banggakan ini, Indonesia.

Seperti penjajahan yang dilakukan Belanda, Inggris dan Jepang, kendati sebagian besar dari rakyat Indonesia (Generasi muda) saat ini, tidak merasakan secara langsung, karena belum lahir dimasa penjajahan dari tiga bangsa asing itu, ditumpah darah kita dilahirkan.

Dan terlama adalah penjajahan dilakukan Belanda dibumi nusantara yang kita banggakan ini, dengan nama Republik Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati, hanya satu NKRI.

Tapi, penulis sendiri yang lahir ditahun 1957, setelah Indonesia Merdeka 12 tahun, yang di Proklamasikan oleh Soekarno-Hatta, digedung Pegangsaan Timur Jakarta Itu pun dibaca melalui pelajaran Sejarah di SD, SMP dan seterusnya.

Artinya, penulis sendiri tidak merasakan penjajahan secara fisik, mental, ekonomi dan politik penjajahan dari ketiga bangsa tersebut, dijelaskan diatas tadi.

Namun, lewat belajar disekolah, dan cerita lisan dari orang tua, keluarga dan para tokoh masyarakat, agama, adat dan para cendikiawan, penulis, betapa sakitnya hidup ditengah penjajahan asing itu.

Dari cerita dan pelajaran yang didapatkan disekolah, bangkit dari lubuk hati nan dalam, betapa jahatnya perlakuan para penjajah, terhadap para kakek, dan nenek moyang, moning kita yang hidup dan merasakan perlakuan penjajahan itu.

Dengan pengetahuan penulis yang sangat terbatas, karena menjalani pendidikan tak lebih hanya batas sekolah menengah atas (SLTA).

Dan baru masuk sekolah dasar swasta pada usia delapan tahun. Dan lulus Sekolah MIS (Madrasah Ibtidaiyah  Swasta), dalam usia +_ 15 tahun, akibat dari sekolah tutup, buka dan buka tutup. Karena guru digaji dari orang tua murid/wali, dengan beras dan tanpa guru tetap.

Dengan keterbatasan ekonomi, sarana prasarana pendidikan dan guru, ujian akhirpun harus menginduk ke MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri).

Dengan keterbatasan ilmu, maka penulis lebih banyak belajar secara otodidak lewat membaca buku-buku pendidikan yang sulit didapatkan.

BACA JUGA :  Sandra Boy & Zulfahmi : Balon Bupati Kerinci, Jangan Sampai Menunggu Sumbangan?

Dan belajar secara otodidak dengan para tokoh masyarakat, agama dan kaum adat, itupun terkadang cerita diperoleh hanya dari mulut kemulut, tidak ada literaturnya secara factual.

Dengan keterbatasan dan kesulitan ekonomi, sudah merasakan tingginya tingkat penjajahan, dalam era yang sudah merdeka.

Dan penjajahan yang harus disingkirkan dan lebih berat menyingkirkannya, adalah ‘’penjajahan yang lahir dari diri sendiri’’ misalnya orang yang lebih pintar (tahu), tidak mau mengajarkan ilmu kebaikan dan kemerdekaan kepada orang yang tidak tahu atau orang lain.

Lalu orang kaya, tidak mau berbagi atau menolong yang lemah. Dan orang hebat dan cerdas tidak mau membagi kecerdasannya kepada yang lemah dan bodoh.

Penjajahan secara tak langsung ini, adalah penjajah yang harus dibersihkan dulu dari diri kita masing-masing. Yang cerdas, pintar, berilmu dan mampu secara ekonomi, membuang jauh penjajahan yang bersemi dalam diri kita masing-masing.

Jika banyak pendapat yang berbeda, bahwa penjajah tidak ada dalam diri kita masing-masing, boleh-boleh saja. Namun, yang memberikan penilaian adalah masyarakat luas (publik).

Dan pendidikan yang dirasakan kian membaik bagi penulis dan generasi seangkatan, dari tahun 1974, dengan dibangunnya SD Inpres disetiap desa oleh Pemerintah dan sudah ada guru pengajar tetap dan seterusnya sampai 2023, setelah 7 Presiden, memimpin negeri ini, kendati penjajahan itu masih dirasakan dalam bentuk-bentuk lainnya, dalam era kepemimpinan yang berbeda.

Kini era milenium atau era serba canggih dan informasi yang tercipta serba cepat, dan berubah-ubah setiap waktu, karena masih banyaknya hoaxs (berita bohong), yang dibangun oleh generasi bangsa kita sendiri, generasi cerdas, pintar, tapi disayangkan mereka melahirkan penjajah baru, informasi yang disajikan lewat media social (medsos), banyak yang positip untuk membangun secara benar.

Namun tidak sedikit pula, yang menyajikan hoaxs (kebohongan), dan membangun kepentingan individu, kelompok, dan menjelma dalam kekuasaan.

Dengan ilmu penulis yang sangat terbatas, penulis berpendapat mulai saat ini, ilmu pelajaran Agama, Sejarah dan Budhi Pekerti harus dinomor satukan dalam dunia pendidikan kita kedepan.

BACA JUGA :  Sandra Boy & Zulfahmi : Balon Bupati Kerinci, Jangan Sampai Menunggu Sumbangan?

Guna mengatasi krisis penggunaan ilmu kecerdasan, pintar, jenius dan religius bagi kepentingan pihak atau kelompok tertentu.

Maka  kita harus menanamkan pendidikan Agma, Sejarah dan Budhi Pekerti yang baik dan benar.

Dengan tekad bersama untuk kemajuan bangsa Indonesia yang besar ini, benar, jujur dan beradap.

Dan tidak melahirkan penjajah-penjajah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pagarnya ilmu pendidikan Agama, Sejarah dan Budhi Pekerti yang kuat, untuk menjalankan amanah sebagai pemimpin.

Sudah sangat tepat Negara kita dengan dasar pandangannya, Pancasila dan UUD 1945, yang disepakati para tokoh, pejuang, dan semua Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan, bersatu didalamnya, secara damai, aman dan Nyaman.

Dan dipimpin oleh pemimpin yang berilmu, beragama, berbudhi luhur dan berahklak dan menjadi contoh bagi generasi kita kedepan, sebagai calon pemimpin bangsa di eranya kedepan.

Jika kita tidak sependapat dalam tulisan ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bahwa perbedaan dalam bernegara yang menganut faham demokrasi, dan menjalankan proses hidup dan kehidupan bersama, berdasarkan hukum dan keadilan.

Mari kita duduk dan urun rembuk dalam satu meja, karena kita penghuni rumah yang besar, NKRI yang sama kita cintai ini.

Dan dalam memasuki tahun politik 2024 ini, mari sama-sama kita ciptakan Pemilihan Umum yang damai, demokratis dan kita sebagai warga Negara dan rakyat, yang disebut selaku pemilik kekuasaan, memilih calon pemimpin kita disemua tingkatan secara bebas sesuai dengan hati nurani kita masing-masing.

Dan menjaga, merawat, meningkatkan, rasa memiliki negeri ini secara damai, aman dan Nyaman. Kita ingin melahirkan pemimpin yang amanah. (***).

Penulis Pemimpin Redaksi Mediaonline BEO.co.id, yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Wartawan Reformasi Indonesia, (DPD-KWRI) Prop. Bengkulu. Pengamat masalah Wartawan didaerah, tinggal di Kota Curup, Kabupaten Rejang Lebong.

Kisah Singkat Jurnalis Gudi Podcast Kemenag Rejang Lebong

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Headlines

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts

https://situs-toto.togel.togetherband.org