spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Munculnya Karya Jurnalistik Menandakan Wartawan Masih Hidup

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
ilustrasi/net

Saya sempat bingung mengingatkan kembali, setelah lima tahun saya menekuni dunia Wartawan (Jurnalistik), dari tahun 1988-1992, karena saya belajar secara otodidak, panduan yang saya gunakan tak lebih hanya menjalankan petunjuk dari Pemimpin Redaksi/ Redaktur Pelaksana, dan membaca Koran media cetak milik orang lain, diluar membaca Koran tempat saya bekerja.

Pada suatu hari saya dipanggil Pemimpin Redaksi, melalui redaktur Pelaksana Koran ‘’Mingguan SWADESI’’ Jakarta 1992, ditengah mencekamnya kebebasan Pers dan banyak media Cetak yang di Bredel, eranya pemerintahan orde baru. Saya dipanggil karena saya sering menulis hurup kavital (hurup besar), dalam penulisan berita, yang seharusnya tidak demikian.

Dan saya dicecar sejumlah pertanyaan oleh redaktur senior saya. Dia mengatakan, bahwa saya punya kemauan menulis tapi tidak rajin menyimak dan tidak tekun belajar. Saya, walaupun dimarah-marahi, tapi saya bangga bertemu dengan seorang redaktur senior, karena tidak menghadap langsung Pemimpin Redaksi saat itu. Saya diberi waktu bertemu redaktur senior.

Dalam kemarahannya, terselip ucapan yang sulit saya lupakan, redaktur mengatakan, ‘’Munculnya Karya Jurnalistik, menandakan Wartawan masih hidup’’ saat itu saya terasa agak tersinggung namun saya pendam didalam hati, seolah tak ada persoalan.

Dan ucapannya itu, salah satu catatan yang membekas dihati dan sulit saya lupakan sampai Koran Mingguan SWADESI berhenti terbit dan para pendirinya wafat. Dan catatan itu, terus menghiasi perasaan saya, kendati saya belajar Jurnalistik secara otodidak, bukan dari akedemisi.

Setelah saya menekuni dunia Jurnalist sudah berjalan 35 tahun sampai tahun 2023, catatan itu saya ingat kembali.

Dan timbul kesadaran saya untuk membahas dan mengkaji ulang maksud dari redaktur Senior Mingguan SWADESI. Fikiran saya menerawang jauh, ingat pesan yang terasa menyakitkan, saya menghadap dalam keadaan sehat, tidak sakit, apa lagi mati.

Kini saya telah berumur 65 tahun, dan telah menjadi kakek, masih active sebagai seorang Jurnalist yang otodidak, hanya belajar dari banyak membaca dan membaca. Dan diskusi dengan rekan-rekan Wartawan lainnya dari berbagai media Cetak, Televisi, Online dan Siaran.

Munculnya Karya Jurnalistik Menandakan Wartawan Masih Hidup, hasil bacaan saya dan diskusi dengan rekan-rekan Wartawan yang senior, di Bengkulu seperti Chairuddin, MDK (Media Bintang TV) sekarang, Drs Syahrial Azis, Tabloid BIJAK di Kota Padang dan Mantan Jurnalist Media Group, mengatakan ‘’Wartawan tanpa karya berarti sudah mati, karena hidup dalam profesinya tanpa Karya Jurnalistik.”

Bukan mati (Wafat), karena Wartawan itu tidak pernah mati. Yang mati adalah orangnya. Munculnya Karya Jurnalistik Menandakan Wartawn Masih Hidup. Dan akhirnya saya memahaminya, Wartawan ada karena Karya Jurnalistnya dibaca masyarakat luas, bukan karena mengantongi Kartu Pers, Surat Tugas, punya Sertifikat Kompetensi Wartawan (SKW) dan bukan pula karena memiliki UKW, lulus Uji Kompetensi Wartawan.

Sedangkan untuk mendapatkan SKW dan UKW, harus dibayar sebagai peserta, pemula lebih kurang Rp1.100.000,-Madya Rp.1.800.000,- dan Utama (setingkat Pempred) harus bayar Rp2.500.000,-/ orang. Dan ironisnya, mohon maaf sebelumnya, banyak oknum yang saya temukan sudah memiliki status SKW dan UKW, justru tanpa Karya Jurnalistik. Bahkan, ada oknum yang tidak bisa menulis berita.

Terasa agak aneh bagi saya, apa yang dites ketika mereka mengikuti kegiatan UKW dan SKW, apa sekedar memperoleh sertifikat tanda mereka benar-benar seorang Wartawan (Jurnalist), yang harus di akui, kendati tanpa karya jurnalistik (tidak bisa membuat berita jadi).

Mungkin saya berfikir keliru (salah). Dan ironis, isu yang berkembang dan dikembangkan ditengah masyarakat, terutama dipemerintahan, Wartawan yang dianggap sah justru yang punya SKW dan UKW.

Karena ada oknum pejabat menanyakan langsung kepada saya, pertanyaan cukup menjelimat, dan sangat saya hargai, ‘’apa benar tanpa SKW dan UKW, bukan Wartawan?’’ sangat terpaksa saya jawab, bagi saya tentu beda pak. Menurut saya, Wartawan adalah orang yang secara rutinitas dan teratur, bekerja dan berkarya, sebagai Wartawan. Artinya punya karya Jurnalistik, bukan sekedar tanda pengenal atau punya sertifikat.

Dan bukan karena banyaknya sertifikat, kartu Pers dan Surat Tugas yang dimilikinya. Saya hanya berpedoman dengan Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, dan 11 Point Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia, sebagai pedoman dan etika profesi.

Mendengar jawaban saya itu, sang pejabat itu terkejut. Malah balik bertanya, apa benar kalau sudah ‘’SKW dan UKW’’ itulah Wartawan yang benar, dan bisa mengatur naik tidaknya berita? Kembali saya jawab, dan itu yang tidak benar dimata saya. Karena setiap berita yang diturunkan redaksi, dinilai memenuhi syarat dan unsur penulisannya terpenuhi dan bisa dipertanggungjawabkan.

Saya tidak mengenal, dengan kata ‘’mengatur-ngatur berita, bisa naik dan tidak dinaikan atau diatur-atur?’’ yang saya belajar dan tahu memenuhi unsur berita, dengan dukungan data dan terklarifikasi/ konfirmasi berbagai pihak terkait dalam suatu peristiwa, jika memenuhi syarat redaksi yang independen tetap memuat apa adanya, dan bukan mengada-ada. Apa lagi atur mengatur, itu tidak laku karena bertentangan dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan 11 Point Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, adalah payung Hukum Pers / Wartawan Indonesia disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 23 September 1999 dan ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie.

Dan di undangkan di Jakarta, pada tanggal 23 September 1999 Menteri Negara Sekretaris Negara, ttd Muladi. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor: 166. Sekretaris Kabinet RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II Plt Edy Sudibyo.

Prinsipnya, adanya praktik UKW dan SKW saya setuju, tapi dengan catatan Wartawan harus dibekali terlebih dahulu dengan Ilmu Jurnalistik, harus ada pelatihan hitam diatas putih oleh ahlinya, baru mereka di Tes untuk jadi Wartawan. Bukan jadi wartawan dulu, baru dites asal mau bayar uang untuk tes UKW dan SKW.

Dan layak dipertanyakan, jika ratusan ribu diseluruh Indonesia Wartawan ikut UKW dan SKW, yang terendah bayarannya Rp1.000.000,-00 (satu juta rupiah). Untuk diapakahkan uang yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah itu, dan selama ini kenapa tidak ada pelatihan Wartawan?. Jika dirata-ratakan perwartawan membayar Rp1. 500. 000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah), bisa menghasilkan uang puluhan miliar rupiah. Dan bagaimana pertanggungjawaban uang tersebut?

Dan uang peserta tes tergolong besar itu, sangat disayangkan setelah punya sertifikat UKW dan SKW, justru tanpa berita. Wajar jika muncul pertanyaan dari masyarkat, mana Wartawan yang benar, apakah yang punya karya Jurnalistik secara rutinitas atau sekedar punya tanda pengenal, tanpa karya?. Dan yang penting ada SKW dan UKWnya ini perlu dijelaskan oleh Panitia penyelenggara UKW dan SKW, secara detail kepada masyarakat Pers dan masyarakat luas.

Dan prinsip kerja para Jurnalistik (Wartawan) merekonstruksi ulang peristiwa memperjuangkan kebenaran, bukan mencari pembenaran untuk yang bayar.

UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan 11 Point Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai Payung Hukum, pedoman kerja dan etika profesi sebagai Wartawan, untuk memperjuangkan kebenaran, dan berpijak diatas kejujuran hati nurani, dan tidak di interpensi oleh pihak manapun.

Dan saya akui tidak mudah mencari kebenaran itu, karena kebenaran itu lahir dari tindakan cara berfikir dan bekerja dari hati dan fikiran yang jernih. Makanya saya meminjam istilah, ‘’jangan berhenti belajar jadi orang jujur & bertindak profesional’’ dan Kita harus benar dulu sebelum mencari kebenaran itu.

Saya mengutif pendapat sahabat dan teman seprofesi, Drs. Syahrial Azis, (Yal Azis), ‘’katakanlah yang benar itu tetap benar sekalipun pahit’’ dan saya mohon maaf kepada masyarakat, dan masyarakat Pers Nasional jika kita tidak sependapat.

Karena UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan 11 point KEJ, telah mengamanatkan Wartawan harus memperjuangkan Kebenaran, rasa Keadilan masyarakat dan memayungi seluruh insan Pers, turut memajukan kepentingan Bangsa dan Negara. (***).

Penulis/ Editor: Pemimpin Redaksi BEO.co.id, yang juga Ketua DPD-KWRI (Dewan Pimpinan Daerah-Komite Wartawan Reformasi Indonesia) Propinsi Bengkulu.

Kisah Singkat Jurnalis Gudi Podcast Kemenag Rejang Lebong

Tabut Bengkulu (Dokumentasi Yopoyo)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Headlines

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts

https://situs-toto.togel.togetherband.org