Cerbung, Gafar Uyub Depati Intan (Bagian pertama) dari sepuluh bagian.
Hampir semua kita tahu, dengan jenis hewan Ternak Ciptaan Tuhan, yang satu ini bernama “Katak” suaranya melengking tajam bisa terdengan jauh disekitar keberadaannya.
Namun, kita tak pernah mampu mengerti apa arti lengkingan suara yang dikeluarkannya dari suara Katak itu, barang kali mungkin dimasa Nabi Sulaiman AS, (Alaihi Saalam). Dimasa hidupnya, Nabi Sulaimanlah yang bisa dengan binatang, hewan, ternak dan lainnya.
Hanya Nabi Sulaiman satu-satunya yang tahu pada masa keberadaannya sebagai utusan ALLH SWT di bumi ini, mengembangkan ajaran islam dan bersujud kepada Allah, tidak ada yang lain. Dasarnya Al-Qur’an Nulqarrim. Katak, memang Katak yang bersuara lantang itu.
Ada juga pihak menyebutnya, jangan sampai bak Katak Cerdik bersuara lantang hanya dalam Tempurung. “Bak Katak di Tempurung” menangkap peribahasa itu, menggambarkan kita tak boleh jadi orang sombong (angkuh), hebat, yang melengking suaranya, tak lebih diseputar pengabnya tempurung.
Jangan sampai cerita ini, jadi kenyataan dalam pembangunan, kapan dan dimana saja, kata “Ahmad Intong, pada sahabatnya Hendra, Caften Kidung Perahu Tiris, disuatu pagi ditengah deras rintik hujan membasahi “Bumi Sugindo, ditanah yang disebut bumi sakti”
Oh,…iya gumam Hendra, pada kawan setianya, Ahmad Intong. Kayak alam tak bersahabat hujan turun, tanpa henti dalam satu pekan terakhir ini. Itu pertanda juga anugerah, akan subur kehidupan dialam ini, tapi juga ujian tutur Hendra.
Lihat diseberang sana, longsor dimana-mana, jalan putus, rumah dipinggir perbukitan banyak yang terancam, masyarakat tak bisa tidur lelap takut bencana itu datang tanpa waktu yang ditentukan. Hidup ini bebas, dan merdeka tapi tidak boleh seenaknya, hutan dan lingkungan harus dijaga, sergah Hendra.
Mari kawan, tawar Hendra pada Ahmad Intong, kita sarapan dengan Pisang Rebus, dan Kopi pahit bawaan ibu dari ladang semalam.
Ayok-ayok, makan dan minum, anggap saja makan roti di istana sana. Ha…haa tawa Ahmad Intong lepas, ada-ada saja kawan?
Istana mana Tanya, Ahmad Intong,? Ah… kamu jangan pura-pura tidak faham, tak banyak Istana ditanah sakti ini, hanya ada satu “Istana Bukit Sungai Langit.” Ya,…ya…ya, aku faham.
Itu hanya sebuah nama, bukan Istana kawan….?
Iya, apapun namanya lanjut Hendra, Roti Istana, rasanya tak samalah dengan rebus Pisang, dan Kopi pahit, rakyat, gumam Hendra.
Kamu perlu sekedar tahu, diistana kerajaan biaya makan setahunpun dianggarkan, atas perintah sang raja.
Tapi istana rakyat biaya sendiri-sendiri. Kita ini berada didapur sendiri, iya biaya sendiri itulah bedanya cara hidup pegawai kerajaan dengan rakyat jelata, ketus Hendra.
Tapi jangan salah faham,…biaya hidup di istana ditanggung dari pajak yang dibayar rakyat, tapi ingat bukan makan gratis, beban raja bangun negeri dan selamatkan kepentingan rakyat.
Adat kita mengamanatkan, “rajo alim, arif bijak dan jujur raja disembah, tapi rajo zdozim rajo dilawan” Ahmad Intong, lagi-lagi bertanya “Zdolim” itu apa, tanyanya? Kamu lagi-lagi, mengaku tidak faham?
Raja Zdolim, “tak lebih dari pengkhianat, istilah sekarang kejam dan dictator” maka hati-hati pilih pemimpin kedepannya. Ahmad lalu tertawa lebar, hahahaaaa. Pantas mantan (bekas-bekas) raja banyak yang kaya, baru kau mengerti kata Hendra dengan nada tinggi.
Raja Zdolim itu, lanjut Hendra ada kaitannya, “bak katak ditempurung” seolah dia segalanya, Iya lupa tempurung itu bulat, suaranya berdengking-dengking, terdengar keluar tapi wajah pemandangannya sempit. Kita sebagai generasi muda ingat Hendra, jangan sampai cara kerja dan berfikirnya “bak Katak di Tempurung”
Kita perlu menanya diri kita masing-masing, apa yang sudah dan akan dilakukan, dan apa pula hasilnya? Bermanfaat atau tidak pada orang banyak, walaupun kecil, papar Hendra.
Ahmad Intong, lalu mengangguknganggukan kepalanya, mungkin tanda sependapat. Kampung kita ini, selama ini “bak kampung maling, siapa yang kuat itu diatas, jika boleh dipinjam istilah, bak negeri tak bertuan” kata Hendra, diamini Ahmad Intong.
Ayo-ayolah, tambah Kopinya, pagi ini hujan turun tanpa batas, banjir, longsor, ambruk, sawah-sawah hancur dan tenggelam, meraoo meraung-meraung dengan suara yang menakutkan.
Saudaraku hai Ahmad Intong, kita ini bagian dari kehidupan masyarakat Kerajaan, “buruk baiknya, juga negeri kita, mari kita lihat penderitaa rakyat, jangan berpangku tangan minimal korban banjir kita kunjungi, lihat, kondisi riil mereka saat ini, tak perlu berharap banyak dengan wakil kita diluar sana”
Jika mereka dating kita hargai, sebagai wakil rakyat. Dan jika tidak lupakan untuk selamanya. Janganlah “bak Katak ditempurung ketus Hendra”
Dan sangat penting kita ingatkan bersama, pada warga negeri, lanjut Hendra “apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai” tak jauh dari sanalah hasilnya? Negeri Sigindo, di Tanah Sakti hanya tinggal sepotong nama, telah tercabik dan koyak dimana-mana, karena kerakahan manusia. (***) Bersambung pada bagian ke dua.