OPINI : Gafar Uyub Depati Intan
Mencuatnya kasus tunjangan rumah dinas (Rumdis) DPRD Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi sejak setahun lampau diduga bisa merugikan Keuangan Negara/ daerah miliaran rupiah sumbernya dari uang rakyat, proses Hukumnya ditangani Kejaksaan Negeri Sungai Penuh, kini dalam status Dik (Penyidikan) peningkatan dari Lid (Penyelidikan), oleh penyidik di Kejaksaan Negeri Sungai Penuh. Belum penetapan tersangkanya???
Pengungkapan kasus itu, dalam status Penyidikan oleh penyidik Kejaksaan Negeri Sungai Penuh. Secara institusi kita harus percaya pada penyidik. Karena Negara hadir memberikan tanggungjawab pada lembaga penuntut umum melalui penyidiknya yang jujur, handal dan professional.
Jika sampai kasus tunjangan rumah dinas (Rumdis) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kerinci terhenti, atau dihentikan pengusutannya, dengan bahasa populernya di SP3-kan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), Jaksa Penyidik harus berani menjelaskan secara terbuka pada masyarakat dan disiarkan secara resmi kepublik (masyarakat luas), dengan alasan yang jelas, melalui saluran yang tersedia, (resmi).
Penghentian dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), tentu dengan alasan yang jelas, “pertama karena tidak terjadi perbuatan pidana, kedua barang bukti tidak cukup, dan ketiga tidak lengkap saksi” jika ketiganya tidak ada (tidak lengkap) harus di SP3-kan.
Namun jika peristiwa dan perbuatannya sudah terjadi, saksi ada, hanya saja belum lengkap barang bukti, ini tugas Jaksa Penyidik melengkapinya.
Jika perbuatan melawan Hukum sudah terjadi, dugaan tindak Pidana Korupsi yang merugikan Keuangan Negara/ Daerah, dari pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kerinci, untuk tunjangan rumah dinas DPRD Kerinci, sejak tahun 2016 silam sampai tahun 2022, berarti sudah berjalan tujuh tahun, penyidik di Kejaksaan Negeri Sungai Penuh, perlu berhati-hati, jika harus menghentikan lanjutan penyidikan dan penetapan tersangkanya.
Karena akan ada sangsi jabatan (sangsi tugas) yang dibebankan Negara kepada penyidik. Karena Negara (Pemerintah), memberikan Gaji, Tunjangan, Wewenang, Tanda Pangkat dan tanggungjawab terhadap penyidik dan lembaga penegak Hukum Kejaksaan Agung RI dan jajarannya sampai tingkat terendah.
Jangan sampai terjadi pengehentian penyidikan, pada peristiwa yang telah terjadi. Bak meminjam istilah maling teriak maling, karena ketahuan lalu dikembalikan.
Tapi peristiwa maling (tindak kejahatan) Nya, sudah terjadi (di lakukan), lalu malingnya sampai dibebaskan?.
Enak sekali jadi maling, (perampok uang rakyat), ketika ketahuan, boleh dikembalikan dan bebas dari tuntutan Hukuman.
Jika ada oknum Jaksa, berani menghentikan penyidikan dalam peristiwa yang sudah terjadi, dan telah memeriksa puluhan saksi, (memanggil) pihak-pihak terkait tidak di lanjutkan, sah-sah saja dipertanyakan masyarakat luas, Â ada apa? Dan apa alasan konkriet tidak dilanjutkan???.
Namun, kita tidak boleh berburuk sangka dulu, kepada siapapun dalam proses pemeriksaan kasus ini. Karena Jaksa Penyidik butuh data dan bukti yang lengkap, sebelum menetapkan calon tersangkanya.
Ketika naik ke P21 dan dilimpahkan ke Pengadilan, diharapkan dapat dibuktikan, diyakini majelis hakim dan tidak bebas murni bagi terdakwanya.
Jadi kecermatan Jaksa Penyidik sangat penting, jangan sampai ada yang bebas murni?. Mari kita support pihak kejaksaan memproses kasus ini sesuai prosedur Hukum yang berlaku. Sekali lagi jangan berprsngka buruk dulu?
Soalnya salah satu bukti awal, adanya Peraturan Bupati (Perbup) Kerinci No.20 tahun 2016 silam, dan disahkan oleh DPRD Kerinci. Maka tunjangan rumah dinas untuk DPRD Kerinci, bisa dicairkan dan pengelolaannya melalui Sekretaris Dewan (Sekwan) Kerinci 2016 s/d 2022, tahun lalu.
Terjadinya dugaan adanya oknum maling dalam pengelolaan Keuangan yang nilainya miliaran rupiah (cukup besar itu), dengan dasar Peraturan Bupati, (Perbup) No. 20 tahun 2016 itu, yang dikeluarkan Bupati, maka bupati Kerinci harus diminta keterangan oleh penyidik, agar masalahnya jadi terang benderang.
Ada atau tidak, tindakan melawan hukumnya?. Jika tidak ada, segera bebaskan pihak-pihak terperiksa dari segala bentuk tuntutan, tentu dengan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), sehingga kasus ini tidak terkatung-katung?.
Pertanyaannya siapa yang bersalah…? Malingkah, atau pihak yang mengeluarkan SP3, atau kedua-duanya?. Dan atau boleh dibenarkan kedua-duanya, silakan anda menilainya sendiri?.
Dan kita (masyarakat) luas, boleh saja ada rasa was-was, khawatir berlanjut atau tidak keberlanjut ke meja hijau, proses kasus dugaan penyimpangan dana tunjangan Rumdis DPRD Kerinci, itu tergantung hasil penyidikan para penyidik di Kejaksaan Negeri Sungai Penuh, jadi tak perlu ‘’curiga berlebihan’’ apa lagi sampai ribut antar sesama kita.
Membangun pro dan kontra, ditengah masyarakat yang nota benenya, para Aktivis, Pers (Wartawan), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan aktivis lainnya.
Prinsip yang harus kita bangun bersatu kokoh, merdeka hidup, merdeka berfikir, dan merdeka berpendapat untuk menyuarakan kebenaran.
Dan sama dirasakan pahit getirnya perjuangan menegakan kebenaran, mendukung penegakan supremasi Hukum, jujur dan professional.
Perlu kita sadari kebenaran itu tidak selalu ada ditangan pemenangnya, ada kalanya ditangan pejuang. Kasus Rumdis DPRD Kerinci, telah menjadi sorotan para aktivis, LSM dan gabunganny, Wartawan (Pers), dan Pengamat, Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Aktivis bergelombang bergerak dalam waktu berbeda, kadang dalam demo berapi-api, kadang terhenti dan menghilang entah lagi apa…? Belakangan ini redup, dan tak di ketahui persoalannya kenapa redup…?
Memang diketahui menjadi pejuang itu tidak mudah, seperti aktivis. Karena aktivis itu, maaf kerjanya kadang terkotak-kotak, tidak kompak antar sesame organisasi aktivis.
Ada aktivis pejuang, bergerak dan berbuat tanpa henti kendati lamban, karena tingkat kesulitannya yang tinggi, namun tetap berjalan sesuai tujuannya mendukung tegaknya supremasi Hukum dan perubahan pada kebaikan (kebenaran).
Ada yang berpura-pura jadi aktivis dan melakukan demo dengan menggelar berbagai tuntutan, untuk perubahan dan kebaikan, ‘’ketika di-service oleh pihak berkepentingan, agar masalahnya tidak terungkap dan dijerat hukum, maka misi aktivisnya, berangsur menipis, terkikis dan memilih service’’ itu sebagian dari gerakan aktivis kita.
Berikutnya Ngaku-ngaku Aktivis, tumpangan sebagai aktivis dan menjual nama Aktivis, untuk kepentingan pribadi/ kelompoknya dan kepentingan pihak ketiga, ini aktivis membahayakan. Dan para oknumnya sudah banyak yang ditangkap diluar sana.
Aktivis service dan berbahaya, keduanya ada kemiripannya. Dan tak heran akibat kebebasan yang kebablasan, banyak oknum yang mengaku aktivis, karena di service ‘’memilih tiarap didepan penjajah’’ iya suka tidak suka boleh-boleh saja, karena itu hak mereka.
Para oknum seperti itu, patut diduga berkhianat pada dirinya sendiri, daerah dan bangsanya. Yang penting, ia dapat service dari pelaku kejahatan, dikampung tumpah darahnya sendiri.
Hal ini tentu tidak berlaku pada aktivis pejuang kebenaran dan keadilan, ‘’Lapar dan perih dibarengi tekanan, fisik, non fisik, terkadang tindakan tragis bisa terjadi dari berbagai pihak, dan diejek pihak tertentu harus dirasakannya’’
Aktiviskah kita atau tidak? Tanyakanlah pada hati kita masing-masing, siapa kita? Dan jangan bertanya menggunakan akal/ fikiran dan nafsu, yang tidak sehat karena keduanya sangat mudah dan suka berbohong.
Dengan meminjam istilah, Jangan Berhenti Belajar ‘’Jadi orang jujur & Bertindak Profesional’’ Maaf bila tidak sependapat. (***)
Penulis adalah Asli Putra Kerinci, Ketua Dewan Pimpinan Daerah-Komite Wartawan Reformasi Indonesia (DPD-KWRI) Propinsi Bengkulu, Pemimpin Redaksi Gegeronline dan BEO.co.id Group, tinggal di Bengkulu.