Penulis, sudah lebih kurang 37 tahun menekuni profesi Wartawan dari tahun 1987, dalam era rezim orde baru (orba), dan era 6 presiden RI setelah, Soekarno, lalu Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dua periode dan Presiden RI ketujuh Joko Widodo, dua periode (sekarang).
Era orde baru, terasa kerasnya pemasungan kebebsan dan kemerdekaan Pers. Tak heran jika rumah-rumah wartawan sering disambangi Intelijen Negara, bagi yang menulis keras dan kritis, saat itu. Maka kejujuran harus dinormor satukan. Setelah jujurpun banyak dari rekan Wartawan, “senasib sepenanggungan” ada yang masuk daftar orang hilang (dihilangkan), dicatat dalam kinerja tim Munir (alm), yang membela dan memperjuangkan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia yang ditindas oknum penguasa pada eranya.
Dan wartawan yang menulis keras dan kritis, terhadap kebijakan pemerintah yang kurang prorakyat, bisa dituduh menghambat jalannya pembangunan, yang direncanakan lewat Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) menjadi Pembangunan Lima tahun (Pelita).
Dan praktik itu, “terus berlanjut” hanya dalam cara praktik yang berbeda, “bisa lewat tekanan terror, fisik, dan diskriminasi serta secara hukum?” Disinilah Wartawan Indonesia dipandang penting dan perlu menghargai para senior (ahli) dibidangnya menciptakan dan mengkaji Kode Etik Jurnalist (KEJ), untuk diterapkan dengan benar, kendati harus bertahap. Guna memperkecil tingkat kekeliruan dan kesalahan dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalist (Wartawan).